Selasa, 31 Maret 2015

Rangkuman Bab 2, Softskill Perekonomian Indonesia



MAIMUNAH



26214334




1EB31
Rangkuman Perekonomian Indonesia

Bab 2 

Sejarah Ekonomi Indonesia

1.      Sejarah Prokolonialisme

Pada masa sebelum kekuatan Eropa Barat mampu menguasai daratan dan perairan Asia Tenggara, belum ada Indonesia. Nusantara yang sekarang kita kenal sebagai Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan tanah yang dikuasai oleh berbagai kerajaan dan kekaisaran, kadang hidup berdampingan dengan damai sementara di lain waktu berada pada kondisi berperang satu sama lain. Nusantara yang luas tersebut kurang memiliki rasa persatuan sosial dan politik yang dimiliki Indonesia saat ini. Meskipun demikian, jaringan perdagangan terpadu telah berkembang di wilayah ini terhitung sejak awal permulaan sejarah Asia. Terhubung ke jaringan perdagangan merupakan aset penting bagi sebuah kerajaan untuk mendapatkan kekayaan dan komoditas, yang diperlukan untuk menjadi kekuatan besar. Tapi semakin menjadi global jaringan perdagangan ini di nusantara, semakin banyak pengaruh asing berhasil masuk; suatu perkembangan yang akhirnya akan mengarah pada kondisi penjajahan.

Keberadaan sumber-sumber tertulis adalah yang memisahkan masa sejarah dari masa prasejarah. Karena sedikitnya sumber-sumber tertulis yang berasal dari masa sebelum tahun 500 Masehi, sejarah Indonesia dimulai agak terlambat. Diduga sebagian besar tulisan dibuat pada bahan yang mudah rusak dan ditambah dengan iklim tropis lembab dan standar teknik konservasi yang berkualitas rendah pada saat itu - ini berarti bahwa sejarawan harus bergantung pada inskripsi/prasasti di atas batu dan studi sisa-sisa candi kuno untuk menelusuri sejarah paling terdahulu nusantara. Kedua pendekatan ini memberikan informasi mengenai struktur politik tua karena baik sastra maupun pembangunan candi adalah contoh budaya tinggi yang diperuntukkan bagi elit penguasa.

Sejarah Indonesia memiliki ciri sangat khas, yaitu umumnya berpusat di bagian barat Nusantara (khususnya di pulau Sumatera dan Jawa). Karena sebagian besar bagian timur Nusantara memiliki sedikit kegiatan ekonomi sepanjang sejarah (terletak jauh dari jalur perdagangan utama), hal itu menyebabkan sedikitnya kegiatan politik; suatu situasi yang berlanjut hingga hari ini.


Pengaruh Agama Hindu dan Budha di Indonesia

Karena posisi strategis dari garis pantai Sumatera dan Malaysia yang dekat dengan Selat Malaka, tidaklah mengherankan bahwa kita menemukan Negara pertama yang berpengaruh besar dalam sejarah Indonesia di daerah pesisir Sumatra, dan membentang di wilayah geografis yang luas di sekitar selat. Kerajaan ini dinamakan Sriwijaya dan menguasai jalur perdagangan yang menghubungkan Samudra Hindia, Laut Cina Selatan dan Kepulauan Rempah Maluku antara abad ke-13 dan abad ke-17. Sriwijaya juga dikenang sebagai Pusat di Asia Tenggara untuk studi agama Budha dengan penekanan utama pada studi bahasa Sansekerta. Dari sumber-sumber Cina diketahui bahwa para biksu Budha Cina tinggal di Sriwijaya selama lebih dari satu dekade untuk melanjutkan studi mereka.

Sisa-sisa candi Hindu dan Buddha yang berasal dari antara abad ke-8 dan ke-10 menunjukkan pemerintahan dua dinasti di Jawa Tengah. Dinasti ini adalah Dinasti Sailendra (penganut Agama Budha Mahayana dan kemungkinan besar dinasti yang membangun Candi Borobudur yang terkenal sekarang berada di dekat Yogyakarta sekitar tahun 800 Masehi) dan Dinasti Sanjaya (penganut agama Hindu yang membangun kompleks candi Prambanan sekitar tahun 850 Masehi tidak jauh dari candi Borobudur dan sebagai reaksi terhadap candi Borobudur tersebut). Keruntuhan perlahan-lahan Sriwijaya dan munculnya kerajaan besar baru di Jawa ini berarti bahwa kekuasaan politik secara bertahap berpaling dari Sumatera menuju Jawa.

Kedatangan Islam di Indonesia

Meskipun merupakan kerajaan Hindu-Buddha, Islam berpengaruh bagi kalangan elit penguasa Majapahit. Kemungkinan Islam sudah ada di Asia Tenggara maritim dari awal era Islam ketika pedagang Muslim datang ke Nusantara, membuat permukiman di daerah pesisir, menikah dengan wanita setempat dan dihormati atas kekayaan mereka yang diperoleh melalui perdagangan. Beberapa penguasa lokal kemungkinan tertarik dengan agama baru ini dan dianggapnya menguntungkan untuk menganut keyakinan yang sama seperti sebagian besar pedagang. Pendirian kerajaan Islam merupakan langkah logis berikutnya. Diduga rakyat dari raja-raja ini mengikutinya dengan masuk Islam.

Prasasti pada batu nisan menunjukkan bahwa pada awal abad ke-13 terdapat sebuah kerajaan Islam di bagian utara Sumatera disebut Pasai atau Samudera. Kerajaan ini dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara. Dari Sumatra Utara, pengaruh Islam kemudian menyebar ke arah timur melalui perdagangan. Di pesisir pantai utara Jawa berbagai kota Islam muncul selama abad ke-14. Meskipun demikian, tidaklah mungkin kalau beberapa bangsawan Jawa dari Majapahit di Jawa Timur memeluk agama Islam karena perdagangan. Mereka mungkin merasa derajatnya jauh lebih tinggi dibanding dengan kelas sosial pedagang. Kemungkinan besar bangsawan Jawa ini dipengaruhi oleh ulama Sufi dan orang-orang suci atau wali yang mengaku memiliki kekuatan supranatural (karomah).


Kedatangan Bangsa Eropa di Indonesia

Cerita tentang kekayaan Malaka telah mencapai Eropa dan menggoda bangsa Portugis, yang memiliki teknologi navigasi maju, untuk berlayar ke bagian dunia ini agar bisa memiliki pengaruh lebih besar pada jaringan perdagangan rempah-rempah dunia (dan akan membuat penghasilan mereka lebih tinggi). Pada tahun 1511 Malaka ditaklukkan oleh armada Portugis di bawah pimpinan Afonso de Albuquerque. Meskipun demikian, penaklukan ini memiliki konsekuensi yang luas bagi jalur perdagangan. Malaka, yang dulu merupakan pelabuhan kaya, dengan cepat hancur di bawah kekuasaan Portugis yang tidak pernah berhasil memonopoli perdagangan Asia. Setelah penaklukan, para pedagang segera mulai menghindari Malaka dan pergi membawa bisnis mereka ke beberapa pelabuhan lain. Johor (Malaysia), Aceh (Sumatra) dan Banten (Jawa) adalah negara yang mulai mendominasi perdagangan rempah-rempah karena pergeseran jalur-jalur perdagangan.

Belanda juga tertarik untuk membangun cengkeraman yang kuat pada jaringan perdagangan rempah-rempah di Asia Tenggara. Ekspedisi pertama mereka mencapai Banten pada tahun 1596 tapi disertai dengan permusuhan antara Belanda dan penduduk pribumi. Setelah tiba kembali di Belanda, ekspedisi ini masih menunjukkan keuntungan besar yang memperlihatkan bahwa ekspedisi ke kawasan Asia Tenggara sebenarnya menghasilkan banyak uang. Namun saking banyaknya ekspedisi yang diadakan oleh beberapa perusahaan Belanda (ke Nusantara), menimbulkan dampak negatif pada keuntungan mereka. Persaingan memperebutkan rempah-rempah mendongkrak kenaikan harganya di Nusantara sementara peningkatan pasokan rempah-rempah menyebabkan penurunan harga di Eropa. Hal ini membuat pemerintah Belanda memutuskan untuk menggabungkan perusahaan pesaingnya menjadi satu badan usaha yang disebut Serikat Dagang Hindia Timur (Vereenigde Oost Indische Compagnie-, disingkat VOC).


Menuju Pemerintahan Kolonial di Indonesia

Sementara itu, negara-negara Islam terus berkembang di Nusantara. Di Aceh (Sumatra) Sultan Iskandar Muda mendirikan kekuasaan besar di awal abad ke-17, mengendalikan cadangan lada dan timah. Namun, ia tidak pernah berhasil membangun hegemoni di sekitar Selat Malaka seperti Johor dan Portugis yang merupakan pesaing kuat. Setelah pemerintahan Iskandar Muda, Aceh mengalami periode panjang perpecahan internal yang menghentikannya menjadi kekuatan penting di luar ujung utara Sumatera. Di Jawa Tengah dua kekuasaan Islam baru yang kuat muncul di paruh kedua abad ke-16. Kekuasaan ini adalah distrik Pajang dan Mataram yang, setelah melalui perjuangan panjang, berhasil menghentikan dominasi politik daerah pesisir di utara Jawa. Mataram menjadi dinasti yang paling kuat dan paling lama dari dinasti Jawa modern, dengan masa pemerintahan Sultan Agung sebagai kejayaan politik. Sultan Agung berkuasa pada tahun 1613-1646 dan berhasil menaklukkan hampir seluruh daratan Jawa, kecuali kerajaan Banten di Jawa Barat dan kota Batavia. Penguasaan Belanda terhadap Batavia adalah ibarat onak/duri di mata Sultan Agung yang ingin menguasai seluruh daratan pulau. Dalam dua kesempatan ia mengirim pasukannya untuk menaklukkan kota Belanda ini tapi gagal kedua-duanya.

VOC dengan cepat menyebarkan kekuasaannya di Nusantara dan mendapatkan kendali atas produksi cengkeh dan pala di Kepulauan Banda (Maluku) dengan menggunakan langkah-langkah ekstrim seperti genosida (pembantaian massal). VOC terus memperluas jaringan pos perdagangannya di seluruh Nusantara. Kota dan pelabuhan yang memainkan peran sentral dalam jaringan perdagangan Belanda ini adalah Surabaya (Jawa Timur), Malaka (Malaysia Barat) dan Banten (Jawa Barat). Meskipun undang-undang VOC pada awalnya tidak memperbolehkan mengganggu politik internal negara pribumi, namun VOC mengakar cukup kuat dalam politik Mataram di Jawa Tengah. Setelah kematian Sultan Agung, Mataram dengan cepat merosot dan sengketa suksesi muncul sekitar akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18. Belanda memainkan taktik memecah-belah dan menaklukkan yang pada akhirnya mengakibatkan pembagian kerajaan Mataram menjadi empat bagian dengan penguasanya menjadi tunduk kepada Belanda. Meskipun kedudukan Belanda masih agak lemah di luar Pulau Jawa, perkembangan politik di Jawa ini dapat dianggap sebagai tahap awal penjajahan Belanda di Nusantara.

2.      Sistem Monopoli VOC

Tujuan utama V.O.C/kompeni adalah mencari keuntungan dengan jalan berdagang, tetapi karena dalam perdagangannya selalu berusaha untuk mendapat monopoli, dan tidak menghendaki perdagangan yang bebas dimana tiap-tiap orang leluasa dapat melakukan jual-beli, dengan sendirinya perdagangan Kompeni selalu mendapatkan pertentangan dan mau tidak mau akan selalu bergandengan dengan peperangan, yang mengacaukan keamanan dan perdagangan.

Dengan berbagai cara VOC berusaha menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia serta pelabuhan-pelabuhan penting. Juga memaksakan monopoli perdagangan rempah-rempah. Dengan strategi berusaha menguasai salah satu pelabyhan penting, yang akan dijadikan pusat VOC. Sehingga untuk itu mereka mengincar kota Jayakarta. Ketika itu Jayakarta berada di bawah kekuasaan kerajaan islam Banten, Sultan Banten mengangkat Pangeran Wijayakrama sebagai adipati di Jayakarta. 

Mula-mula VOC mendapat izin dari Pangeran Wijayakrama untuk mendirikan kantor di Jayakarta, tetapi ketika gubernur jendral dijabat oleh J.P. Coen. Pada tahun 1619 Pangeran Wijayakrama diserang, dan kota Jayakarta direbut dan di bakar. Diatas reruntuhan kota Jayakarta, J.P Coen membangun kota baru, yang di beri nama Batavia. Batavia kemudian menjadi pusat VOC. Usaha VOC semakin kuat untuk menguasai kerajaan dan pelabuhan penting. Cara melakukannya dengan politik divide et impera atau politik mengadu dombakan sesame bangsa Indonesia antara satu kerajaan dengan kerajaan lain. tujuannya yaitu agar kerajaan di Indonesia menjadi lemah, sehingga mudah dikuasainya. VOC juga sering ikut campur dalam urusan campur tangan dalam urusan pemerintahan kerajaan-kerajaan di Indonesia.

Dalam usahanya untuk melaksanakan monopoli, VOC menetapkan beberapa peraturan guna menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku, yaitu sebagai berikut :

·         Rakyat Maluku dilarang untuk menjual rempah-rempah selain kepada VOC
·         Jumlah tanaman rempah-rempah ditentukan oleh VOC
·         Tempat menanam rempah-rempah juga ditentukan VOC

Agar pelaksanaan monopoli tersebut ditaati oleh rakyat, maka VOC membuat pelayaran Hongi, yaitu patrol dengan perahu kora-kora yang dilengkapi dengan senjata untuk mengawasi pelaksanaan monopoli di Maluku. Bila terjadi pelanggaran maka pelakunya dijatuhi hukuman. Hukumannya yaitu Ekstirpasi yaitu berupa pembinasaan tanaman rempah-rempah milik petani yang melanggar monopoli, dan pemiliknya disiksa atau dibunuh. Akibatnya penderitaan rakya memuncak. Karena kekejaman tersebut timbullah berbagai perlawanan di berbagai daerah.

3.      Sistem Tanam Paksa

Latar Belakang Timbulnya Sistem Tanam Paksa

Sejak awal abad ke-19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai peperangan, baik di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan Belgia) maupun di Indonesia (terutama perlawanan Diponegoro) sehingga Negeri Belanda harus menanggung hutang yang sangat besar.

Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari bahaya kebrangkrutan maka Johanes van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan tugas pokok menggali dana semaksimal mungkin untuk mengisi kekosongan kas negara, membayar hutang, dan membiayai perang. Untuk melaksanakan tugas yang sangat berat itu, Van den Bosch memusatkan kebijaksanaannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor. 

Oleh karena itu, yang perlu dilakukan ialah mengerahkan tenaga rakyat jajahan untuk melakukan penanaman tanaman yang hasil-hasilnya dapat laku di pasaran dunia secara paksa. Setelah tiba di Indonesia (1830) Van den Bosch menyusun program sebagai berikut :
·         Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya tidak banyak dan pelaksanaannya sulit.
·         Sistem tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenis-jenis tanaman yang sudah ditentukan oleh pemerintah.

·         Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah Belanda.

Aturan-Aturan Tanam Paksa

Sistem tanam paksa yang diajukan oleh Van den Bosch pada dasarnya merupakan gabungan dari sistem tanam wajib (VOC) dan sistem pajak tanah (Raffles) dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
·         Penduduk desa yang punya tanah diminta menyediakan seperlima dari tanahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasaran dunia.
·         Tanah yang disediakan bebas dari pajak.
·         Hasil tanaman itu harus diserahkan kepada pemerintah Belanda. Apabila harganya melebihi pembayaran pajak maka kelebihannya akan dikembalikan kepada petani.
·         Waktu untuk menanam tidak boleh melebihi waktu untuk menanam padi.
·         Kegagalan panenan menjadi tanggung jawab pemerintah.
·         Wajib tanam dapat diganti dengan penyerahan tenaga untuk dipekerjakan di pengangkutan, perkebunan, atau di pabrik-pabrik selama 66 hari.
·         Penggarapan tanaman di bawah pengawasan langsung oleh kepala-kepala pribumi, sedangkan pihak Belanda bertindak sebagai pengawas secara umum.

Pelaksanaan Tanam Paksa

Adanya cultuur procent menyangkut upah yang diberikan kepada penguasa pribumi berdasarkan besar kecilnya setoran, ternyata cukup memberatkan beban rakyat. Untuk mempertinggi upah yang diterima, para penguasa pribumi berusaha memperbesar setoran, akibatnya timbulah penyelewengan-penyelewengan, antara lain sebagai berikut :

·         Tanah yang disediakan melebihi 1/5, yakni 1/3 bahkan 1/2, malah ada seluruhnya, karena seluruh desa dianggap subur untuk tanaman wajib.
·         Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
·         Tenaga kerja yang semestinya dibayar oleh pemerinah tidak dibayar.
·         Waktu yang dibutuhkan tenyata melebihi waktu penanaman padi.
·         Perkerjaan di perkebunan atau di pabrik, ternyata lebih berat daripada di sawah.
·         Kelebihan hasil yang seharusnya dikembalikan kepada petani, ternyata tidak dikembalikan.
·          

Pelaksanaan sistem tanam paksa banyak menyimpang dari aturan pokoknya dan cenderung untuk mengadakan eskploitasi agraris semaksimal mungkin. Oleh karena itu, sistem tanam paksa menimbulkan akibat sebagai berikut :

·         Sawah ladang menjadi terbengkelai karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun drastis.
·         Beban rakyat semakin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, dan menanggung risiko apabila gagal panen.
·         Akibat bermacam-macam beban menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
·         Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat.
·         Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. 

4.      Sistem Ekonomi Kapitalis Liberal 
Sistem ekonomi liberal kapitalis adalah sitem ekonomi yang aset-aset produktif dan faktor-faktor produksinya sebagian besar dimiliki oleh sektor individu/swasta. Sementara tujuan utama kegiatan produksi adalah menjual untuk memperoleh laba. Sistem perekonomian/tata ekonomi liberal kapitalis merupakan sistem perekonomian yang memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan perekonomian seperti memproduksi barang, menjual barang, menyalurkan barang dan lain sebagainya. Dalam perekonomian liberal kapitalis setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam bisnis untuk memperoleh laba sebesar- besarnya dan bebas melakukan kompetisi untuk memenangkan persaingan bebas.
Ciri-ciri dari sistem ekonomi liberal kapitalis :

·         Masyarakat diberi kebebasan dalam memiliki sumber-sumber produksi.
·         Pemerintah tidak ikut campur tangan secara langsung dalam kegiatan ekonomi.
·         Masyarakat terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan pemilik sumber daya produksi dan masyarakat pekerja (buruh).
·         Timbul persaingan dalam masyarakat, terutama dalam mencari keuntungan.
·         Kegiatan selalu mempertimbangkan keadaan pasar.
·         Pasar merupakan dasar setiap tindakan ekonom.
·         Biasanya barang-barang produksi yang dihasilkan bermutu tinggi.

Keuntungan :

·         Menumbuhkan inisiatif dan kerasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi, karena masyarakat tidak perlu lagi menunggu perintah dari pemerintah.
·         Setiap individu bebas memiliki untuk sumber-sumber daya produksi, yang nantinya akan mendorong partisipasi masyarakat dalam perekonomian.
·         Timbul persaingan semangat untuk maju dari masyarakat.
·         Mengahsilkan barang-barang bermutu tinggi, karena adanya persaingan semangat antar masyarakat.
·         Efisiensi dan efektifitas tinggi, karena setiap tindakan ekonomi didasarkan motif mencari keuntungan.

Kelemahan :

·         Terjadinya persaingan bebas yang tidak sehat.
·         Masyarakat yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
·         Banyak terjadinya monopoli masyarakat.
·         Banyak terjadinya gejolak dalam perekonomian karena kesalahan alokasi sumber daya oleh individu.
·         Pemerataan pendapatan sulit dilakukan, karena persaingan bebas tersebut.

5.      Era Pendudukan Jepang

Penjajahan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Presiden RI Soekarno. Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Nazi Jerman. Hindia-Belanda mengumumkan keadaan siaga dan di Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke AS dan Britania. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal di Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu. Di bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942. Pada Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan militer Jepang. Soekarno, Mohammad Hatta, dan para Kyai didekorasi oleh Kaisar Jepang pada tahun 1943. Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.

Penjajahan  Jepang di Indonesia
Bala Tentara Nippon adalah sebutan resmi pemerintahan militer pada masa pemerintahan Jepang. Menurut UUD No. 1 (7 Maret 1942), Pembesar Bala Tentara Nippon memegang kekuasaan militer dan segala 'kekuasaan yang dulu dipegang oleh Gubernur Jenderal (pada masa kekuasaan Belanda).
Dalam pelaksanaan sistem pemerintahan ini, kekuasaan atas wilayah Indonesia dipegang oleh dua angkatan perang yaitu angkatan darat (Rikugun) dan angkatan laut (Kaigun). Masing-masing angkatan mempunyai wilayah kekuasaan. Dalam hal ini Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah kekuasaan yaitu:

·         Daerah Jawa dan Madura dengan pusatnya Batavia berada di bawah kekuasaan Rikugun.
·         Daerah Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu dengan pusatnya Singapura berada di bawah kekuasaan Rikugun. Daera Sumatera dipisahkan pada tahun 1943, tapi masih berada di bawah kekuasaan Rikugun.
·          Daerah Kalimantan, Sulawesi, Nusatenggara, Maluku, Irian berada di bawah kekuasaan Kaigun.

6.      Cita-cita Ekonomi Merdeka

Bung Hatta pernah berkata, “dalam suatu Indonesia Merdeka yang dituju, yang alamnya kaya dan tanahnya subur, semestinya tidak ada kemiskinan. Bagi Bung Hatta, Indonesia Merdeka tak ada gunanya jika mayoritas rakyatnya tetap hidup melarat. “Kemerdekaan nasional tidak ada artinya, apabila pemerintahannya hanya duduk sebagai biduanda dari kapital asing,” kata Bung Hatta. (Pidato Bung Hatta di New York, AS, tahun 1960)

Karena itu, para pendiri bangsa, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta, kemudian merumuskan apa yang disebut “Cita-Cita Perekonomian”. Ada dua garis besar cita-cita perekonomian kita. Pertama, melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial dan feodalistik. Kedua, memperjuangkan terwujudnya masyarakat adil dan makmur.

Cita-cita perekonomian kita tidak menghendaki ketimpangan. Para pendiri bangsa kita tidak menginginkan penumpukan kemakmuran di tangan segelintir orang tetapi pemelaratan mayoritas rakyat. Tegasnya, cita-cita perekonomian kita menghendaki kemakmuran seluruh rakyat. Supaya cita-cita perekonomian itu tetap menjiwai proses penyelenggaran negara, maka para pendiri bangsa sepakat memahatkannya dalam buku Konstitusi Negara kita: Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, Pasal 33 UUD 1945 merupakan sendi utama bagi pelaksanaan politik perekonomian dan politik sosial Republik Indonesia.

Dalam pasal 33 UUD 1945, ada empat kunci perekonomian untuk memastikan kemakmuran bersama itu bisa tercapai. Pertama, adanya keharusan bagi peran negara yang bersifat aktif dan efektif. Kedua, adanya keharusan penyusunan rencana ekonomi (ekonomi terencana). Ketiga, adanya penegasan soal prinsip demokrasi ekonomi, yakni pengakuan terhadap sistem ekonomi sebagai usaha bersama (kolektivisme). Dan keempat, adanya penegasan bahwa muara dari semua aktivitas ekonomi, termasuk pelibatan sektor swasta, haruslah pada “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

7.      Ekonomi Indonesia Setiap Periode Pemerintahan Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi

A.      Orde Lama

Pada era Orde Lama, masa pemerintahan presiden Soekarno antara tahun 1959-1967, pembangunan dicanangkan oleh MPR Sementara (MPRS) yang menetapkan sedikitnya tiga ketetapan yang menjadi dasar perencanaan nasional:
  • TAP MPRS No.I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara
  • TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969,
  • Ketetapan MPRS No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.
Dengan dasar perencanaan tersebut membuka peluang dalam melakukan pembangunan Indonesia yang diawali dengan babak baru dalam mencipatakan iklim Indonesia yang lebih kondusip, damai, dan sejahtera. Proses mengrehablitasi dan merekontruksi yang di amanatkan oleh MPRS ini diutamakan dalam melakukan perubahan perekonomian untuk mendorong pembangunan nasional yang telah didera oleh kemiskinan dan kerugian pasca penjajahan Belanda.

Pada tahun 1947 Perencanaan pembangunan di Indonesia diawali dengan lahirnya “Panitia Pemikir Siasat Ekonomi”. Perencanaan pembangunan 1947 ini masih mengutamakan bidang ekonomi mengingat urgensi yang ada pada waktu itu (meskipun di dalamnya tidak mengabaikan sama sekali masalah-masalah nonekonomi khususnya masalah sosial-ekonomi, masalah perburuhan, aset Hindia Belanda, prasarana dan lain lain yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial). Tanpa perencanaan semacam itu maka cita-cita utama untuk “merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional” tidak akan dengan sendirinya dapat terwujud. Apalagi jika tidak diperkuat oleh Undang-Undang yang baku pada masa itu. Sekitar tahun 1960 sampai 1965  proses sistem perencanaan pembangunan mulai tersndat-sendat dengan kondisi politik yang masih sangat labil telah menyebabkan tidak cukupnya perhatian diberikan pada upaya pembangunan untuk memperbaiki kesejahtraan rakyat.

Pada masa ini perekonomian Indonesia berada pada titik yang paling suram. Persediaan beras menipis sementara pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengimpor beras serta memenuhi kebutuhan pokok lainnya. Harga barang membubung tinggi, yang tercermin dari laju inflasi yang samapai 650 persen ditahun 1966. keadaan plitik tidak menentu dan terus menerus bergejolak sehingga proses pembangunan Indonesia kembali terabaikan sampai akhirnya muncul gerakan pemberontak G-30-S/PKI, dan berakir dengan tumbangnya kekuasaan presiden Soekarno.

B.      Orde Baru

Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangani sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden.  Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh. Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional.

Pada era Orde Baru ini, pemerintahan Soeharto menegaskan bahwa kerdaulatan dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam bidang sosial budaya. Tekad ini tidak akan bisa terwujud tanpa melakukan upaya-upaya restrukturisasi di bidang politik (menegakkan kedaulatan rakyat, menghapus feodalisme, menjaga keutuhan teritorial Indonesia serta melaksanakan politik bebas aktif), restrukturisasi di bidang ekonomi (menghilangkan ketimpangan ekonomi peninggalan sistem ekonomi kolonial, menghindarkan neokapitalisme dan neokolonialisme dalam wujudnya yang canggih, menegakkan sistem ekonomi berdikari tanpa mengingkari interdependensi global) dan restrukturisasi sosial budaya (nation and character building, berdasar Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila serta menghapuskan budaya inlander).

Pada masa ini juga proses pembangunan nasional terus digarap untuk dapat meningkatkan kapasitas masyarakat dan menciptakan lapangan kerja. Pendapatan perkapita juga meningkata dibandingkan dengan masa orde lama. Kesemuanya ini dicapai dalam blueprint nasional atau rencana pembangunan nasional. Itulah sebabnya di jaman orde lama kita memiliki rencana-rencana pembangunan lima tahun (Depernas) dan kemudian memiliki pula Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan-Tahun (Bappenas). Di jaman orde baru kita mempunyai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I, Repelita II, Repelita III, Repelita IV, Repelita V,dan Repelita VII (Bappenas).

Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”.

Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.

C.      Reformasi

Setelah terjadi berbagai goncangan ditanah air dan berbagai tekanan rakyat kepada presiden Soeharto, akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.

Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Selain itu pada masa ini juga memberi  kebebasan dalam menyampaikan pendapat, partisipasi masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari munculnya partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat bisa menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan dalam menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP).

Dengan hadirnya reformasi pembangunan dapat di kontrol langsung oleh rakyat, dan kebijakan pembangunanpun didasari demokrasi yang bebunyi dari, oleh dan untuk rakyat, sehingga dengan dasar ini partisipasi rakyat tidak terkekang seperti pada masa orde baru,kehidupan perekonomian Indonesia dapat didorong oleh siap saja. Selain pemabangunan nasional pada masa ini juga ditekankan kepada hak daerah dan masyarakatnya dalam menentukan daerahnya masing-masing, sehingga pembangunan daerah sangat diutamakan sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang no 32/2004,Undang-Undang 33/2004, Undang-Undang 18/2001 Untuk pemerintahan Aceh, Undang-Undang 21/2001 Untuk Papua. Keempat undang-undang ini mencerminkan keseriusan pusat dalam melimpahkan wewenangnya kepada pemerintah dan rakyat di daerah agar daerah dapat menentukan pembangunan yang sesuai ratyatnya inginkan.

Daftar Pustaka :