MAIMUNAH
26214334
2EB32
Pengertian Penggelapan Pajak
Penggelapan
pajak (tax evasion) adalah tindak pidana karena merupakan rekayasa subyek
(pelaku) dan obyek (transaksi) pajak untuk memperoleh penghematan pajak secara
melawan hukum (unlawfull), dan penggelapan pajak boleh dikatakan merupakan
virus yang melekat (inherent) pada setiap sistem pajak yang berlaku di hampir
setiap yurisdiksi. Begitupun penggelapan pajak mempunyai resiko terdeteksi yang
inherent pula, serta mengundang sanksi pidana badan dan denda.
Tidak
tertutup kemungkinan bahwa untuk meminimalkan risiko terdeteksi biasanya para
pelaku penggelapan pajak akan berusaha menyembunyikan atau mengaburkan
asal-usul “hasil kejahatan” (proceeds of crime) dengan melakukan tindak
kejahatan lanjutannya yaitu praktik pencucian uang, agar mereka dapat
memaksimalkan utilitas ekspektasi pendapatan dari penggelapan pajak tersebut.
Oleh sebab itulah tindak kejahatan di bidang perpajakan termasuk salah satu
tindak pidana asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian uang (TPPU)
Peraturan Perundang-undangan
Mengenai Penggelapan Pajak
Bagian
dari rangkaian tindak pidana penggelapan pajak oleh wajib pajak dapat masuk
sebagai kualifikasi tindak pidana korupsi di bidang perpajakan.
Terdapat banyak bentuk dan modus
penggelapan pajak, hal tersebut tertuang dalam pasal 39 ayat (1) UU No. 28
Tahun 2007. Namun salah satu bentuk tindak pidana penggelapan pajak yang sering
terjadi, diatur dalam pasal 39 ayat (1) huruf (d) UU No. 28 Tahun 2007, yang
berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja menyampaikan Surat Pemberitahuan
dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap.”Kemudian, bagi
para pelaku dikenakan hukuman yang diatur pada ayat berikutnya dalam pasal yang
sama, yaitu pasal 39 ayat (2), yang berbunyi: “Pidana sebagaimana dimaksud ayat
(1) ditambahkan 1(satu) kali menjadi 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang
yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak
terutang atau yang tidak dibayar.” Dilihat dari hukuman yang dijatuhkan, sesuai
dengan apa yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pidana bagi pelaku
penggelapan pajak lebih berorientasi pada pengembalian kerugian pendapatan
negara dan bukan kepada pidana fisik semata.
Bentuk penggelapan pajak dapat
berupa penggelapan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, dan atau bukti
pemungutan pajak sebagai bentuk konkritnya.
Berdasarkan penjelasan pasal 39A UU
No. 28 Tahun 2007, menyatakan bahwa faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak
merupakan sarana administrasi yang sangat penting dalam pelaksanaan ketentuan
Pajak Pertambahan Nilai. Demikian juga bukti pemotongan pajak dan bukti
pemungutan pajak merupakan sarana untuk pengkreditan atau pengurangan pajak
terutang sehingga setiap penyalahgunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak,
dan atau bukti setoran pajak dapat mengakibatkan dampak negatif dalam
keberhasilan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan.
Berdasarkan hal tersebut, penggelapan pajak dapat terjadi melalui
penyalahgunaan dalam hal penerbitan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, dan
atau bukti pemungutan pajak.
Salah satu yang menjadi rangkaian
penggelapan pajak yang dapat pula masuk dalam kualifikasi tindak pidana korupsi
adalah dengan dilakukannya suatu tindak pidana penyuapan atau gratifikasi yang
dilakukan oleh Wajib Pajak terhadap Direktorat Jenderal Pajak, atau penyidik
pajak, atau pejabat negara lain yang bertugas dalam bidang perpajakan. Dalam
kaitannya ini adalah pada saat Wajib Pajak menginginkan agar pajak yang dia
bayarkan kurang daripada yang seharusnya, yang dilaksanakan dalam bentuk
“kerjasama” dengan pejabat negara untuk membuat palsu penerbitan faktur pajak,
atau bukti pemotongan pajak, atau pun bukti pemungutan pajak. Bahwa penyuapan
termasuk rangkaian dalam definisi penggelapan pajak yang dikemukakan oleh
seorang ahli pajak bernama Brotohardjo,
2007, yang menyatakan bahwa “Penggelapan pajak didefinisikan sebagai suatu
tindakan atau sejumlah tindakan yang merupakan pelanggaran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan seperti berikut:
1.
Tidak
dapat mengisi Surat Pemberitahuan tepat waktu
2.
Tidak
dapat memenuhi pembayaran pajak tepat waktunya.
3.
Tidak dapat memenuhi pelaporan dan
pengurangannya secara tepat waktu dan lengkap;
4.
Melakukan
penyuapan terhadap aparat perpajakan dan atau tindakan intimidasi lainnya.
Tindak pidana penyuapan yang dilakukan oleh Wajib Pajak
terhadap pejabat negara, agar pejabat negara menggunakan jabatannya dalam
membantu proses penggelapan pajak yang dilakukan Wajib Pajak, termasuk sebagai
kategori penyuapan dalam tindak pidana korupsi. Hal ini diatur dalam pasal 5
ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang berbunyi:
“Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan/ atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
setiap orang yang:
a.
Memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan
dengan kewajibannya; atau
b.
Memberi
sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan
dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya.”
Dari bunyi pasal tersebut, terdapat perbedaan antara poin a
dengan poin b. Pada poin a dijelaskan bahwa pemberian sesuatu (uang, barang,
atau jasa) diberikan kepada pejabat atau penyelenggara dengan tujuan agar
pejabat atau penyelenggara itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, yang
bertentangan dengan kewajibannya. Hal ini dikenal dengan sebutan tindak pidana
penyuapan.
Sedangkan pada poin b, dijelaskan bahwa pemberian sesuatu
(uang, barang, atau jasa) diberikan setelah pejabat tersebut berbuat atau tidak
berbuat sesuatu, yang bertentangan dengan kewajibannya atau dapat dikatakan
sebagai suatu pemberian “hadiah” atas perbuatan yang dilakukan atau tidak
dilakukan pejabta negara, yang bertentangan dengan kewajibannya. Hal ini
dikenal dengan sebutan “gratifikasi”. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa
perbedaan antara penyuapan dan gratifikasi terletak pada waktu pemberian
tersebut dilakukan. Pada penyuapan, pemberian sesuatu dilakukan sebelum
pejabat/penyelenggara negara berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan kewajibannya. Sedangkan, pada gratifikasi, pemberian
sesuatu itu dilakukan setelah pejabat/penyelenggara negara berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Kedua, perbedaannya
terletak pada unsur niat. Pada penyuapan niat untuk merencanakan penyalahgunaan
wewenang telah ada dari awal, sedangkan gratifikasi, niat tersebut belum tentu
ada dari awal, atau mungkin saja hal itu tidak direncanakan sebelumnya tetapi
terjadi tanpa ada penggerakan dari dia sebelumnya.
Dalam kaitannya dengan korupsi dalam bidang perpajakan yang
dilakukan oleh Wajib Pajak, korupsi dapat terjadi apabila Wajib Pajak ternyata
terlibat dalam hal melakukan penyuapan maupun gratifikasi terhadap pejabat atau
penyelenggara negara untuk membantunya melakukan penggelapan pajak. Oleh karena
itu, si Wajib Pajak dapat terjerat oleh pasal 5 ayat (1) UU Tipikor karena
unsur subjek dalam pasal 5 ayat(1) tersebut adalah “setiap orang”, yang berarti
termasuk pula Wajib Pajak.
Jadi dapat disimpulkan bahwa korupsi
pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak berbeda dengan pengertian korupsi pajak.
bahwa dalam hal ini posisi korupsi yang dilakukan oleh Wajib Pajak (penyuapan
atau gratifikasi) berada hampir sama dengan posisi pada saaat dilakukannya
penggelapan pajak, yaitu sebelum sebagian harta kekayaan Wajib Pajak yang untuk
membayar pajak masuk ke dalam kas negara.
Contoh Kasus Penggelapan Pajak
a.
Melaporkan
penjualan lebih kecil dari yang seharusnya, omzet 10 milyar hanya dilaporkan
dalam laporan keuangan perusahaan sebesar 5 milyar misalnya.
b. Menggelembungkan biaya perusahaan
dengan membebankan biaya fiktif;
c. Transaksi export fiktif,
d. Pemalsuan dokumen keuangan
perusahaan
Dugaan
Penggelapan Pajak oleh Perusahaan Bakrie Group
Ada ungkapan big is beautiful. Tapi sepertinya ungkapan itu tidak seluruhnya
benar. Hal ini seperti yang dialami PT Bumi Resources Tbk. Salah satu produsen
tambang batu bara terbesar di Indonesia ini sedang pusing lantaran dituding
menggelapkan pajak sebesar Rp2,1 triliun. LSM Indonesian Corruption Watch (ICW)
menilai, jumlah itu membengkak menjadi Rp11,426 triliun setelah perusahaan
diduga kurang membayar royalti pada periode 2003-2008.
Seperti diketahui, dugaan penggelapan pajak PT
Bumi Resources Tbk, termasuk anak usahanya PT Arutmin Indonesia, dan PT Kaltim
Prima Coal (KPC) sebesar Rp2,1 triliun pada tahun 2007 itu tengah diproses oleh
Polda Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Bedanya, untuk dugaan
penggelapan pajak KPC tengah disidik Polda Kaltim. Lalu Polda Kalsel
menyelidiki dugaan penggelapan pajak Arutmin.
Koordinator Monitoring dan Analisa Anggaran ICW,
Firdaus Ilyas mengatakan pembengkakan utang perusahaan tambang milik Aburizal
Bakrie itu didapat setelah ICW menelaah data-data primer seperti laporan
keuangan perusahaan, prospektus, laporan pada pemegang saham, data produksi
serta penjualan batu bara perseroan. Data itu juga kami dapat dari hasil audit
BPK. Lalu, setelah sejumlah dokumen tersebut diteliti, ditemukan dua kenakalan
yang dilakukan perseroan.
Pertama, ditemukan kekurangan setoran Dana Hasil
Penjualan Batubara (DHPB) pada 2003-2008, mencapai AS$143,189 juta. “Tetapi,
angka itu belum disesuaikan dengan laporan keuangan persero 2008 yaitu
AS$608,178 juta.
Kedua, emiten berkode saham BUMI itu kurang membayar
royalti periode 2003-2008 yang jumlahnya mencapai AS$477,299 juta. Alhasil,
total kewajiban Bumi pada negara mencapai AS$1,228 miliar. Apabila menggunakan
kurs Rp9.300, maka kewajiban BUMI mencapai Rp11,426 triliun. Atas dasar itu,
ICW mendesak Departemen Keuangan memanggil dan memeriksa kantor akuntan publik
yang mengaudit laporan keuangan BUMI. Selain itu, Departemen Keuangan juga
harus memanggil Direktur Jenderal Mineral Batu Bara dan Panas Bumi Departemen
ESDM. Soalnya, dari Direktur Jenderal ini, bisa diketahui berbagai hal yang
mempengaruhi penerimaan BUMI seperti harga batu bara.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sendiri tidak
tinggal diam. Institusi yang bernaung di bawah Departemen Keuangan ini terus
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tunggakan pajak tiga perusahaan
Grup Bakrie tersebut. Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo menegaskan, jika ingin
penyidikan dihentikan maka Grup Bakrie harus membayar kewajiban lima kali lipat
dari total tunggakan. Jadi, harus bayar denda 400 persen. Kalau ditambah pokok
tunggakan, jadi 500 persen. Selain harus melunasi kewajibannya, ada prosedur
lain yang harus ditempuh Grup Bakrie jika ingin penyidikan kasus ini
dihentikan. “Mereka harus mengajukan permohonan ke Menkeu, kemudian dari Menkeu
ke Kejagung untuk minta penghentian penyidikan”. Langkah ini tertuang dalam
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 130/PMK.03/2009 tentang Tata Cara
Penghentian Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan Untuk Kepentingan
Penerimaan Negara.
PMK yang berlaku sejak 18 Agustus 2009 itu
menyatakan, proses penyidikan kasus tindak pidana bidang perpajakan dapat
dihentikan melalui izin dari Menkeu, setelah wajib pajak (WP) melunasi pajak
yang tidak atau kurang dibayarkan atau yang seharusnya tidak dikembalikan serta
setelah membayar sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali dari pajak
yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan.
Kejaksaan Agung (Kejagung) dapat menghentikan
penyidikan kasus pidana bidang perpajakan maksimal selama enam bulan sejak
tanggal surat permintaan yang dibuat Menkeu. Sebelumnya, Dirjen Pajak diminta
Menkeu meneliti dan memberi pendapat sebagai bahan pertimbangan. Surat yang
diajukan WP kepada Menkeu harus dilengkapi pernyataan berisi pengakuan bersalah
dan kesanggupan pelunasan pembayaran pajak dan sanksi.
Ditjen Pajak yang
mengetahui kasus ini mengatakan kemungkinan penambahan nilai kerugian negara
terjadi karena dalam proses penyidikan yang dilaksanakan, penyidik menemukan
komponen biaya pada PT Bumi Resources
Tbk (BUMI) yang tidak sesuai dengan seharusnya, sehingga menyebabkan besaran
pajak yang dibayarkan menjadi kecil. Itu salah satunya dari biaya bunga
pinjaman. Kami sedang menelusuri, nilainya bisa mencapai ratusan miliar
rupiah. Komponen biaya merupakan salah
satu komponen yang bisa dikurangkan dari penghasilan bruto dalam rangka
penentuan penghasilan kena pajak (PKP). Namun, berdasarkan ketentuan
perpajakan, tidak semua komponen biaya bisa dikurangkan dari penghasilan bruto.
Saat meminta penjelasan
lebih lanjut mengenai komponen biaya apa saja yang dimaksud, dia enggan
menjelaskannya. Pelaksana tugas (Plt) Direktur Intelijen dan Penyidikan
Direktorat Jenderal Pajak Pontas Pane ketika dikonfirmasi enggan berkomentar
banyak soal perkembangan penyidikan ketiga kasus tersebut. Namun, menurut dia, Ditjen Pajak terus
melaksanakan proses penyidikan meski terjadi resistensi dari pihak saksi maupun
tersangka.
Direktorat Jenderal Pajak
saat ini mengusut kasus dugaan pidana pajak oleh tiga perusahaan Grup Bakrie,
yakni PT Kaltim Prima Coal (KPC), Bumi, dan PT Arutmin Indonesia. Ketiganya
diduga menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) tahunan tahun pajak 2007 secara
tidak benar. Untuk KPC dan Bumi, Ditjen Pajak telah melakukan penyidikan
sementara untuk Arutmin masih dalam proses pemeriksaan bukti permulaan. Terkait
pelaksanaan penyidikan tersebut,
mengungkapkan tim penyidik Ditjen Pajak mengalami kesulitan memanggil
saksi. Tidak tahu kenapa, tapi memang informasi yang kami dapat menyebutkan di
dalam mereka (Grup Bakrie) sudah ada tekanan.” Menurut dia, pemanggilan
terhadap tersangka juga mengalami hambatan karena yang bersangkutan tidak
pernah memenuhi panggilan pemeriksaan yang dilayangkan penyidik pajak dengan
alasan sedang sakit. “Kami sudah panggil
sekali, nanti tak lama lagi akan kami panggil kedua kali. Kalau juga tak
dipenuhi akan kami panggil paksa dibantu Kepolisian,” tegasnya.
Dengan adanya masalah
ini, kita bisa melihat bahwa sebagai perusahaan yang telah Go Publik masih adanya indikasi bahwa
perusahaan-perusahaan tersebut masih belum menerapkan prinsip-prinsip good
corporat governance, walaupun masih sebatas dugaan tetapi asumsi-asumsi
negative telah mengarah kesana. Untuk bisa memastikannya lebih jauh maka harus
dilakukan penyidikan lebih lanjut, tetapi untuk dampak sementara akibat adanya
dugaan ini, investor sudah mulai ragu untuk menanamkan modalnya pada
perusahaan-perusahaan tersebut.
Didalam konsep good governance setiap informasi
yang hendakkan disampaikan harus terbuka dan akurat, jauh dari manipulasi dan
hal-hal yang menyesatkan, sebab dengan diterapkannya Prinsip corporate governance diharapkan dapat meningkatkan kualitas
laporan keuangan, yang pada akhirnya meningkatkan kepercayaan pemakai laporan
keuangan, termasuk investor.
Penyelesaian
:
Dalam kasus dugaan penggelapan pajak oleh perusahaan Bakrie Group, perusahaan mengemukakan
bahwa dalam menghadapi masa sulit diperlukan efisiensi. Berkaitan dengan hal
tersebut, efisiensi yang paling cepat untuk dapat dilakukan adalah dengan
mengurangi pengeluaran, seperti memanipulasi laporan pajak, mengurangi tenaga
kerja, dan lain-lain. Alasan efisiensi tersebut tak lain adalah konsekuensi
dari globalisasi yang memadatkan jarak dan waktu memang menuntut kompetisi
ekonomi global menjadi kian sengit dengan tenggat waktu yang amat cepat. Dengan
demikian, sebuah transaksi bisnis tak lagi memakan waktu yang lama seperti
dahulu kala. Kini, untuk melakukan transaksi bisnis antar benua bahkan cukup memakan
waktu dalam hitungan detik saja. Hal tersebut tentu menuntut perusahaan pada
situasi yang amat kompetitif yang menimbulkan konsekuensi ketat bahwa kegagalan
berefisiensi akan membuat perusahaan ketinggalan dan kehilangan kesempatan.
Efisiensi menjadi kata kunci bagi perusahaan untuk mengejar
keuntungan yang berpacu dalam persaingan global tersebut. Namun menurut Robert
Cooter, sesungguhnya efisiensi bukan sekadar dipacu oleh persaingan global
terlebih memang sejak awalnya sudah menjadi sifat pengusaha untuk melakukan
efisiensi dan maksimalisasi hasil usaha
Secara
umum, kita dapat mengatakan bahwa ekonomi menghasilkan sebuah teori tingkah
laku/perilaku untuk memprediksi bagaimana respon manusia terhadap
perubahan-perubahan dalam hukum. Teori ini melampaui intuisi, hanya
sebagai ilmu sains yang melampaui akal biasa (common sense). Ilmu Ekonomi
memprediksi efek kebijakan terhadap efisiensi. Efisiensi selalu berhubungan
dengan pembuatan kebijakan, karena akan selalu lebih baik mencapai semua
kebijakan-kebijakan yang ada dengan biaya yang rendah daripada dengan biaya
yang tinggi. Pejabat umum tidak pernah menyokong uang yang siasia/pemborosan.
Selain efisiensi, Ilmu ekonomi yang juga memprediksi efek
dari kebijakan-kebijakan dalam nilai penting lainnya adalah distribusi.
Diantara penerapan ilmu ekonomi itu terhadap kebijakan publik adalah
penggunaannya untuk memprediksi siapa sebenarnya yang dibebankan berbagai macam
pajak. Lebih daripada penelitian ilmu-ilmu sosial, ahli ekonomi memahami
bagaimana hukum memberi dampak terhadap distribusi pendapatan dan kesejahteraan
disegala lapisan sosial. Sementara ahli ekonomi seringkali merekomendasikan
perubahan untuk peningkatan efisiensi, mereka mencoba menghindari sengketa
tentang distribusi, biasanya memberikan rekomendasi tentang distribusi kepada
pengambil kebijakan (policy makers) atau pemilih (voters).
Modus Penyelewengan Pajak Versi Gayus
Terdakwa
Gayus Halomoan Tambunan mempertanyakan langkah penyidik Polri yang tidak
menindaklanjuti keterangannya terkait modus penyelewengan di Direktorat
Jenderal Pajak. Gayus mengaku sudah menjelaskan berbagai modus yang biasa
terjadi di Ditjen Pajak.
“Padahal,
jika hal itu diekspos dengan penyelidikan atau penyidikan, akan terlihat
perkara saya tidak ada apanya,” kata Gayus saat membacakan pembelaan atau
pleidoi pribadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (3/1/2011).
Dalam
pleidoi, Gayus mengungkap enam modus penyelewengan yang berpotensi merugikan
negara. Pertama, kata dia, adanya negosiasi di tingkat pemeriksaan pajak oleh
tim pemeriksa pajak sehingga surat ketetapan pajak (SKP) tidak mencerminkan
nilai yang sebenarnya, baik SKP kurang bayar maupun SKP lebih bayar.
Kedua,
negosiasi di tingkat penyidikan pajak. Saat mengungkap penyidikan faktur pajak
fiktif, kata Gayus, pengguna faktur pajak fiktif ditakut-takuti, yakni bahwa
statusnya akan diubah dari saksi menjadi tersangka. “Yang ujung-ujungnya adalah
uang sehingga status pengguna faktur pajak fiktif itu tetap menjadi saksi,”
kata dia.
Ketiga,
papar Gayus, penyelewenangan fiskal luar negeri dengan berbagai macam modus di
bandara-bandara yang melayani penerbangan internasional sebelum berlakunya UU
KUP pada 1 Januari 2008. Dalam UU itu, seseorang yang bepergian ke luar negeri
diwajibkan membayar fiskal sebesar Rp 2.500.000.
Keempat,
lanjut Gayus, penghilangan berkas surat permohonan keberatan wajib pajak yang
mengakibatkan permohonan tidak selesai diurus hingga jatuh tempo selama 12
bulan sesuai Pasal 26 Ayat (1) UU No 16/2000. “Direktur Jenderal Pajak dalam
jangka waktu 12 bulan, setelah keberatan pajak diterima, harus memberi
keputusan, berapa rupiah pun nilai keberatan yang diminta,” kata dia.
“Kelima,
penggunaan perusahaan di luar negeri, khususnya Belanda, di mana terdapat celah
hukum pembayaraan bunga kepada perusahaan Belanda, di mana bunga tersebut lebih
dari dua tahun, maka dikenai PPh Pasal 26 nol persen. Di sini terdapat potensi
penggelapan pajak PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 26 atas biaya bunga. Potensi
kerugian dapat mencapai ratusan miliar rupiah, bahkan triliunan rupiah,” ungkap
Gayus.
Keenam, lanjut
dia, “Kerugian investasi yang dibukukan dalam SPT tahunan. Hal ini dikarenakan
adanya kerugian akibat pembelian dan penjualan saham antarperusahaan yang
diduga masih satu grup. Diduga tidak ada transaksi tersebut secara riil dan
nilai jual beli saham itu tidak mencerminkan nilai saham yang sesungguhnya.
Dengan terjadinya kerugian investasi jual beli itu, wajib pajak tidak membayar
PPh Pasal 25,” paparnya.
Dampak Yang Terjadi
Dampak positif :
1. Pemerintah
dan masyarakat dapat mengetahui ketidakberesan dalam pemungutan pajak yang
selama ini terjadi.
2. Membersihkan
oknum-oknum Ditjen Pajak yang tidak berkompeten dan bertanggungjawab terhadap
kewajibannya.
3. Memberikan
kesadaran kepada wajib pajak untuk taat dalam membayar pajak.
Dampak Negatif :
1. Dengan
adanya penyelewengan dan hutang pajak tentunya dapat mengurangi penerimaan
negara dari sektor perpajakan, sehingga menghambat pembangunan infrastuktur.
2. Penyelesaian
masalah dari segi hukum terlalu berbelit-belit, sehingga masalah tersebut tidak
dapat diatasi secara cepat.
3. Memperburuk
citra dan kinerja pemerintah khususnya pada Ditjen Pajak.
4. Menghambat
penyusunan RAPBN.
Penyelesaian :
1.
Memeriksa pihak-pihak terkait yaitu pihak Ditjen pajak
dan wajib pajak
2.
Memperketat sistem pengendalian dan controlling di
lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dalam masalah perpajakan.
Daftar Pustaka
http://goesur25.blogspot.co.id/2013/09/tugas-makalah-penggelapan-pajak.html (Diakses pada 30 April 2016)