Sabtu, 09 April 2016

Tugas 4, Softskill Aspek Hukum dalam Ekonomi. E-Commerce

MAIMUNAH

26214334

2EB32

E-Commerce




Definisi E-Commerce
Electronic Commerce (E-Commerce) atau perdagangan secara elektronik adalah perdagangan yang dilakukan dengan memanfaatkan jaringan telekomunikasi, bukan hanya aktivitas jual-beli lewat online, tetapi juga tentang pemasaran barang dan jasa, transfer dana dan pertukaran data dengan menggunakan sistem elektronik seperti internet. Internet memungkinkan orang atau organisasi yang berada pada jarak yang jauh dapat saling berkomunikasi dengan biaya yang murah. Hal ini kemudian dimanfaatkan untuk melakukan transaksi perdagangan. 
Bentuk perdagangan elektronik yang paling mudah ditemui adalah toko online.
Perdagangan secara elektronik memberikan keuntungan baik kepada perusahaan maupun kepada konsumen.

Keuntungan E-Commerce Bagi  Perusahaan :
1.      Perdagangan secara elektronik memungkinkan perusahaan untuk menjual produknya kepada lebih banyak orang. Dengan kata lain perusahaan dapat menjangkau pasar yang lebih luas. Misalnya, perusahaan atau toko di Amerika dapat menjual produknya kepada orang di Jepang.
2.      Perusahaan tidak perlu membuka banyak cabang distribusi.
3.      Mengurangi biaya yang dikeluarkan perusahaan karena perusahaan tidak perlu menyediakan  toko yang besar dan pegawai yang banyak.
4.      Biaya yang dikeluarkan perusahaan dapat dikurangi sehingga barang dapat dijual dengan harga lebih rendah. Akibatnya, lebih banyak konsumen yang dapat menjangkau harga barang sehingga barang menjadi lebih banyak terjual.
5.      Barang yang dijual lebih murah dapat meningkatkan daya saing perusahaan.

Keuntungan E-Commerce Bagi  Konsumen :
1.      Konsumen tidak perlu mendatangi toko untuk mendapatkan barang. Cukup mengakses internet dan memesan barang, maka barang pesanan akan diantar ke rumah.
2.      Pembeli dapat menghemat waktu dan biaya transportasi berbelanja.
3.      Mempunyai lebih banyak pilihan karena dapat membandingkan semua produk yang ada di internet.
4.      Dapat membeli barang yang terdapat di negara lain, yang di dalam negeri mungkin saja belum tersedia.
5.      Harga barang yang dibeli menjadi lebih murah.
Jenis-Jenis Transaksi E-Commerce
1.      Model B2C (Business to Consumer)
Jenis bisnis ini sebenarnya adalah online shop atau toko online yang memiliki alamat website sendiri, lalu menjual produknya sendiri secara langsung kepada konsumen. Model bisnis ini memiliki fokus utama yakni untuk mendapat profit dari penjualan produknya. Misalnya, Lazada, Bhineka,BerryBenka, Bilna dan Tiket.

2.      Berbasis Media Sosial
Berbeda dengan jenis bisnis B2C yang memiliki alamat website sendiri, model bisnis ini memanfaatkan media sosial seperti facebook, twitter dan instagram untuk memasarkan produk. Misalnya, toko online yang tersebar di facebook, twitter dan instagram.

3.      Model C2C (Customer to Customer)
Model bisnis C2C ini disebut dengan marketplace, marketplace sebagai fasilitator untuk penjual dan pembeli melakukan transaksi (rekening bersama). Selain itu biasanya marketplace juga menyediakan layanan khusus untuk penjual mempromosikan barang atau produknya. Misalnya, Bukalapak dan Tokopedia.

4.      Iklan Baris
Bentuk bisnis ini hampir sama dengan marketplace, bedanya adalah iklan baris tidak menyediakan fasilitas rekber. Iklan baris hanya menjadi tempat untuk penjual mengiklankan produknya, kemudian penjual dan pembeli lebih sering melakukan transaksi COD (Cash on Delivery). Misalnya, OLX dan Kaskus

5.       E-commerce Shopping Mall
Model shopping mall ini hampir sama dengan marketplace dan iklan baris, bedanya ialah shopping mall hanya menjadi memfasilitasi penjual yang memiliki brand ternama, karena tahap verifikasi yang harus dilewati oleh penjual memang super duper ketat. Misalnya Blibli.

6.      Model O2O (Online to Offline)
Jenis bisnis memungkinkan pelanggan untuk memesan barang secara online melalui website yang dimiliki oleh perusahaan yang menjalan sistem ini lalu melakukan pembayaran serta pengembilan barang secara offline.
Gimana ya cara kerjanya? Pelanggan tinggal memilih produk secara online, lalu melakukan pembayaran dengan beberapa opsi yakni transfer uang atau membayar langsung di outlet terdekat, jika sudah melalui tahap konfirmasi, barang yang dipesan siap diambil di outlet terdekat. Misalnya, Matahari Mall.

7.      Collaborative Commerce (C-Commerce)
Kerjasama secara elektronik antara rekan bisnis. Kerja sama ini biasanya terjadi antara rekan bisnis yang berada pada jalur penyediaan barang (supply Chain).

8.      Consumer-to-Business (C2B)
Pada jenis ini, konsumen memberitahukan barang atau layanan yang dibutuhkannya, dan selanjutnya organisasi-organisasi bersaing untuk menyediakan barang atau layanan tersebut kepada konsumen.
 
9.      Intrabusiness(Intraorganizational)Commerce
Pada jenis ini, organisasi menggunakan E-Commerce untuk meningkatkan kegiatan operasi organisasinya. Hal ini dikenal juga dengan sebutan Businessto- Employee (B2E).

10.  Government-to-Citizens (G2C) and to others
Pemerintah menyediakan layanan kepada masyarakat melalui teknologi ECommerce. Pemerintah juga dapat melakukan bisnis dengan pemerintah lain (Government-to-Government / G2G) demikian juga dengan organisasi lain (Government-to-Business / G2B).

Aturan Pajak Untuk E-Commerce Asing Di Indonesia Masih Belum Jelas



Perkembangan bisnis e-commerce di Indonesia saat ini begitu pesat dan semakin diminati baik oleh para pengusaha lokal atau asing. Hal ini menimbulkan masalah baru, karena Indonesia dirasa masih belum punya aturan yang jelas untuk mengatur peredaran e-commerce asing, sehingga banyak pelaku e-commerce asing yang masih belum tersentuh pajak.

Pada dasarnya setiap ada pembayaran ke luar negeri akan terkena PPh pasal 26. Namun jika sebuah perusahaan e-commerce terdapat di negara lain yang tidak punya perjanjian pajak (tax treaty) dengan Indonesia maka pengenaan pajaknya tidak serta merta kena pasal 26 karena harus mengikuti ketentuan di tax treaty-nya.
Mengutip perkataan Kepala Seksi Pajak Penghasilan Badan II Kunto Laksito dari situs Dirjen Pajak, “Untuk memanfaatkan tarif sesuai tax treaty ada juga persyaratan yang harus dipenuhi misalnya menyampaikan Surat Keterangan Domisili (Certificate of Domicile), nanti SKD ini dilampirkan saat menyampaikan SPT masa PPh Pasal 26 bahwa WP ini bisa menggunakan tariftreaty karena wajib pajak di luar negeri ini memang benar adalah tax resident dari Negara itu yang berdasarkan treaty tarifnya lebih rendah daripada tarif PPh pasal 26 20%.”
Masih dari sumber yang sama, Hafni Septiana Nur Endah, Kasubdit Interoperablitas dan Interkonektivitas e-Business, Kemkominfo, menambahkan bahwa e-commerce itu lebih pada arah percaya atau trust. Oleh karena itu perlu disosialisasikan kepada para pembelinya bahwa ini ada trust mark-nya atau tidak, bahwa ini adalah benar pemiliknya maka perlu adanya sertifikasi keandalan.
“Jadi si pemilik website itu memasang logo itu, maka itu untuk meyakinkan pembelinya. Jadi sekarang kalau sebagai pembeli tidak terkirim harus bagaimana? Kemkominfo bisa bantu telusi ini penjualnya siapa jika domain-nya dot-id, tapi jika domain-nya dot-com sulit ditelusuri karena bukan milik kami (pemerintah Indonesia),” tambah Hafni.
Terkait hal ini banyak pihak yang memberikan pendapat mengenai regulasi untuk mengatur peredaran bisnis online di bidang e-commerce. Sulitnya menerapkan aturan ini dikarenakan industri e-commerce sudah lintas batas dan bahkan lintas negara. Sebenarnya bukan hanya di Indonesia, dunia internasional pun masih dalam perbincangan untuk membahas pajak pada transaksi online yang termasuk hal relatif baru.
Menurut Chairman Internet Data Center Indonesia Johar Alam, yang dikutip Sindonews, “Sebenarnya e-commerce asing yang masuk di Indonesia, ini sah-sah saja. Bila niatannya berdagang pemerintah harus perlakukan mereka seperti pedagang yang harus membayar pajak. Jangan dibedakan jualan online dan offline.”
Masih dari sumber yang sama, pengamat ekonomi Faisal Basri mengatakan, “Jadi, misalnya saya pesan online Microsoft Office, dapet enggak tuh negara? Kalau saya beli CD-nya itu kan jelas berapa juta, bayar PPN-nya. Nah, kalau ini (pesan online), saya perkirakan enggak bisa tuh negara ambil pajak.”
Pendapat di atas memang nyata, sulitnya menelusuri dasar dari transaksi e-commerce yang sudah lintas negara dapat menjadi masalah. Oleh karena itu dalam membuat perjanjian perdagangan internasional terkait dengan bisnis online e-commerce pemerintah harus berkosultasi dengan sejumlah pakar. Saat ini Indonesia hanya menerapkan aturan umum seperti Pajak Penghasilan (PPh) untuk bisnis e-commerce. Masih belum adanya aturan khusus yang mengatur di bidang e-commerce ini dirasa masih merugikan karena mengakibatkan beberapa perusahaan asing tidak membayar pajak (PPN) seluruhnya seperti perusahaan dalam negeri.
Kementrian perdagangan pernah menyatakan sudah menemukan cara agar transaksi e-commerce terkena pajak dengan menggandeng perusahaan piranti lunak rasaksa. Namun nyatanya hingga kini masih ada pelaku bisnis e-commerce asing yang tidak terkena wajib pajak, meskipun perdagangan online sudah diatur dalam Undang-undang Perdagangan Nomor 7/2014.
Sudah saatnya Indonesia memiliki aturan yang jelas dalam mengatur peredaran e-commerceasing yang menginvasi. Aturan tersebut harus segera dibuat untuk melindungi pelaku usaha dalam negeri dan memproteksi dari ancaman bisnis online asing untuk menghadapi era perdagangan bebas. Namun tentu setelah melakukan riset seperti apa model perpajakan yang cocok untuk diterapkan di Indonesia dan tidak terpengaruh oleh pernyataan-pernyataan yang tidak masuk akal.
Aturan E-Commerce Berlaku Skala Internasional
Untuk melindungi pelaku usaha online dan konsumen dalam negeri. RUU Perdaganganyang telah disetujui DPR dan pemerintah menjadi Undang-Undang, Selasa (11/2) lalu mengatur banyak hal yang patut diperhatikan pengusaha dan praktisi hukum. Salah satunya adalah pijakan hukum terhadap bisnis elektronik atau e-commerce, yang diatur dalam pasal 65-66. Aturan ini penting karena bisnis berbasis online sudah menjamur di Indonesia. Sebelumnya, aturan e-commercemerujuk pada UU No. 11 Tahun 2008tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Wakil Ketua Komisi VI DPR Erik Satrya Wardhana mengatakan pemberlakuan aturan e-commerce yang tercantum di dalam UU Perdagangan berlaku untuk skala internasional. Maksudnya, seluruh transaksi elektronik yang dilakukan pelaku usaha dalam negeri dan luar negeri, yang menjadikan Indonesia sebagai pasar wajib mematuhi aturan e-commerce yang ada di dalam UU Perdagangan kelak.
“Aturan perdagangan elektronik akan kita berlakukan untuk semua online. Baik berskala nasional maupun internasional yang menjadikan Indonesia sebagai pasar,” kata Erik di Komplek Senayan, Selasa (11/2).
Komisi VI DPR, kata Erik, menyerahkan wewenang tersebut kepada pemerintah. Pemerintah berkewajiban melakukan sinkronisasi terhadap UU lain yang mengatur soal transaksi elektronik seperti UU ITE. Ia  menekankan, tujuan dari pengaturan e-commercedalam UU Perdagangan adalah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. “Perlindungan konsumen itu menjadi target utama kita dalam UU Perdagangan,” jelasnya.

Kini, aturan turunan dari UU Perdagangan yang masih ditunggu oleh berbagai pihak. Erik  menjelaskan, aturan mengenai e-commerce nantinya akan diatur dalam aturan turunan di bawah UU. DPR telah memberikan payung hukum secara kuat yang intinya memberikan perlindungan kepada kepentingan pasar nasional.
Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Bayu Krishnamurti mengatakan, UU Perdagangan pada akhirnya memberikan kepastian hukum kepada pelaku usaha dan konsumen dalam negeri yang melakukan bisnis atau transaksi elektronik. “Dilindungi kepentingannya tetapi juga sekaligus dipandu dan diberi arahan untuk bisa menjalankan bisnis secara baik,” kata Bayu.
Menurut Bayu, UU ini memberikan perlindungan kepada konsumen terutama bisnis elektronik yang berkedok penipuan. UU Perdagangan mengatur bagaimana transaksi elektronik dan binis online bisa dipertanggungjawabkan oleh pelaku bisnis. Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan menyusun peraturan pelaksanaatau pedoman yang relevan. Yang jelas, lanjutnya, Indonesia sudah memiliki dasar hukum untuk melakukan pengelolaan perdagangan transasksi elektronik.
Bayu belum memastikan apakah nanti aturan e-commerce juga berlaku kepada penggunaan transaksi online retail yang menggunakan blog sebagai media bisnis. Ia mengatakan transaksi elektronik juga menjadi wewenang Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sehingga perlu ada sinkronisasi. “Ada dua kombinasi, satu dimensi perdagangannya, transasksi barang dan harga, ada uang di dalamnya dan tentu ITE-nya. Ada UU tersendiri yang menjadi wewenang Kominfo. Jadi kita harus cari sinkroninasinya nanti,” ungkap Bayu.
Terkait potensi pajak yang mungkin akan diperoleh oleh negara melalui aturan e-commerce ini, Bayu juga tak mau banyak berkomentar. “Kita lihat nanti. Saya belum berspekulasi sampai ke sana,” pungkasnya.

Peraturan / UU E-Commerce
Pemerintah Republik Indonesia selaku regulator telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur bisnis e-commerce di Indonesia dengan UU No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan. Maksud dikeluarkannya undang-undang ini adalah memberikan kepastian dan perlindungan kepada pedagang, penyelenggara PMSE (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik) dan konsumen dalam melakukan kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik. Dalam UU No. 7 tahun 2014 definisi dari Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PSME) adalah perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. Pelaku PMSE sendiri adalah Pedagang/Merchant dan PPSE (Penyelenggara Perdagangan Secara Elektronik). Sedangkan pelaku PPSE terdari dari Penyelenggara Komunikasi Elektronik, Iklan Elektronik, Penyelenggara Sistem Aplikasi Transaksi Elektronik, Penyelenggara Jasa Aplikasi Sistem Pembayaran Secara Elektronik dan Penyelenggara Jasa dan Sistem Aplikasi Pengiriman Barang. Teks lengkap pengaturan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang diatur dalam UU No. 7 tahun 2014 sebagai berikut : 

BAB VIII PERDAGANGAN MELALUI SISTEM ELEKTRONIK
Pasal 65
(1) Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik wajib menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar.
(2) Setiap Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penggunaan sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
(4) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
(a) identitas dan legalitas Pelaku Usaha sebagai produsen atau Pelaku Usaha Distribusi;
(b) persyaratan teknis Barang yang ditawarkan;
(c) persyaratan teknis atau kualifikasi Jasa yang ditawarkan;
(d) harga dan cara pembayaran Barang dan/atau Jasa; dan
(e) cara penyerahan Barang.
(5) Dalam hal terjadi sengketa terkait dengan transaksi dagang melalui sistem elektronik, orang atau badan usaha yang mengalami sengketa dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian sengketa lainnya.
(6) Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin.

Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pertanyaan selanjutnya, apakah pengaturan tersebut sudah memadai untuk mengatur bisnis e-commerce ? Sebagaimana diketahui pengaturan dalam undang-undang masih dalam garis besarnya saja, sehingga ketentuan yang tertulis dalam undang-undang belum bisa mengatur keseluruhan bisnis e-commerce. Sebagai contoh bagaimana mekanisme pendaftaran, bagaimana pemerintah mengatur hak dan tanggung jawab antara para pelaku PSME maupun jaminan perlindungan pemerintah kepada konsumen. Berhubung transaksi bisnis yang terjadi dalam PSME berbeda dengan sistem perdagangan konvensional yang berlaku, maka regulasinya juga harus berbeda dengan sistem perdagangan secara umum. Oleh karena itu, saat ini para pelaku PSME menunggu regulasi lebih lanjut dari pemerintah sebagai penjabaran UU No. 7 tahun 2014 berupa Peraturan Pemerintah dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya. Agar regulasi tersebut bisa mewadahi seluruh kepentingan maka sebaiknya pemerintah melibatkan seluruh stake holder yang terlibat dalam bisnis e-commerce.

Pembayaran Pajak E-Commerce
Menyikapi berkembang pesatnya bisnis e-Commerce di Indonesia, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak tegaskan kembali peraturan perpajakan terkait e-Commerce. Peraturan perpajakan terkait e-Commerce sudah ditegaskan kembali dalam SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas Transaksi e-Commerce. “Ketentuannya adalah penegasan, bukan pengenaan baru,” kata Kepala Seksi Pajak Penghasilan Badan II, Kunto Laksito, dalam Seminar Perpajakan “Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Bagi Pelaku e-Commerce Di Indonesia” yang diadakan oleh Direkorat Jenderal (Ditjen) Pajak di Jakarta, 27 Agustus 2014.
Dalam SE-62/PJ/2013 membagi kegiatan e-Commerce dalam empat kegiatan besar, yaitu Online Marketplace, Classified Ads, Daily Deals dan Online Retail. Online Marketplace adalah kegiatan menyediakan tempat kegiatan usaha berupa Toko Internet di Mal Internet sebagai tempat online Marketplace Merchant menjual barang atau jasa. Pihak-pihak yang terkait adalah penyelenggara, merchant dan pembeli.
Classified Ads adalah kegiatan menyediakan tempat dan atau waktu untuk memajang content barang dan atau jasa bagi Pengiklan untuk memasang iklan yang ditujukan kepada Pengguna Iklan melalui situs yang disediakan oleh Penyelenggara Classified Ads. Pihak-pihak yang terkait adalah penyelenggara, pengiklan dan pengguna iklan.
Daily Deals adalah kegiatan menyediakan tempat kegiatan usaha berupa situs Daily Deals sebagai tempat Daily Deals Merchant menjual barang atau jasa kepada pembeli dengan menggunakan voucher sebagai sarana pembayaran. Pihak-pihak yang terkait adalah penyelenggara, merchant dan pembeli.
Online Retail adalah kegiatan menjual barang dan atau jasa yang dilakukan oleh penyelenggara Online Retail kepada pembeli di situs Online Retail. Pihak-pihak yang terkait adalah penyelenggara yang sekaligus berperan sebagai merchant dan pihak lainnya adalah pembeli.
“Dalam kegiatan Online Marketplace, terdapat kewajiban PPh dan PPN dalam proses bisnis jasa penyediaan tempat dan atau waktu, penjualan barang dan atau jasa, serta dalam proses bisnis penyetoran hasil penjualan kepada merchant oleh penyelenggara,” ungkap Kunto.
“Dalam kegiatan Classified Ads, terdapat kewajiban PPh dan PPN dalam proses bisnis penyediaan tempat dan atau waktu untuk memajang content barang dan atau jasa,” lanjut Kunto.
“Dalam kegiatan Daily Deals, terdapat kewajiban PPh dan PPN dalam proses bisnis jasa penyediaan tempat dan atau waktu, penjualan barang dan atau jasa, serta dalam proses bisnis penyetoran hasil penjualan kepada merchant oleh penyelenggara,” papar Kunto.
“Dan dalam kegiatan Online Retail terdapat kewajiban PPh dan PPN dalam proses bisnis penjualan barang dan atau jasa,” imbuh Kunto.
Khusus untuk pelaku e-Commerce yang memiliki perederan usaha tidak lebih dari 4,8 milyar dalam satu tahun pajak dapat menggunakan fasilitas PP Nomor 46/2013 yaitu menghitung PPH atas transaksi e- Commerce dengan menggunakan tarif tunggal yaitu 1% x Dasar Pengenaan Pajak.
Kunto mengharapkan agar para pelaku e-commerce dapat mensosialisasikan kewajiban perpajakan ini kepada para netizen dan rekan-rekannya. “Syukur-syukur dalam website para pelaku e-commerce ini ada remindernya apakah transaksi Anda sudah bayar pajak,” ajak Kunto.


Sumber Referensi

            (Diakses 09/04/2016)
http://veryfund.co/blog/jenis-jenis-e-commerce-dan-contohnya/ (Diakses 09/04/2016)
(Diakses 09/04/2016)

(Diakses 09/04/2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar