Jumat, 29 April 2016

Tugas 6, Softskill Aspek Hukum dalam Ekonomi. Penggelapan Pajak




MAIMUNAH
26214334
2EB32
PENGGELAPAN PAJAK



Pengertian Penggelapan Pajak
Penggelapan pajak (tax evasion) adalah tindak pidana karena merupakan rekayasa subyek (pelaku) dan obyek (transaksi) pajak untuk memperoleh penghematan pajak secara melawan hukum (unlawfull), dan penggelapan pajak boleh dikatakan merupakan virus yang melekat (inherent) pada setiap sistem pajak yang berlaku di hampir setiap yurisdiksi. Begitupun penggelapan pajak mempunyai resiko terdeteksi yang inherent pula, serta mengundang sanksi pidana badan dan denda.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa untuk meminimalkan risiko terdeteksi biasanya para pelaku penggelapan pajak akan berusaha menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul “hasil kejahatan” (proceeds of crime) dengan melakukan tindak kejahatan lanjutannya yaitu praktik pencucian uang, agar mereka dapat memaksimalkan utilitas ekspektasi pendapatan dari penggelapan pajak tersebut. Oleh sebab itulah tindak kejahatan di bidang perpajakan termasuk salah satu tindak pidana asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian uang (TPPU)

Peraturan Perundang-undangan Mengenai Penggelapan Pajak
Bagian dari rangkaian tindak pidana penggelapan pajak oleh wajib pajak dapat masuk sebagai kualifikasi tindak pidana korupsi di bidang perpajakan. 
Terdapat banyak bentuk dan modus penggelapan pajak, hal tersebut tertuang dalam pasal 39 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2007. Namun salah satu bentuk tindak pidana penggelapan pajak yang sering terjadi, diatur dalam pasal 39 ayat (1) huruf (d) UU No. 28 Tahun 2007, yang berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap.”Kemudian, bagi para pelaku dikenakan hukuman yang diatur pada ayat berikutnya dalam pasal yang sama, yaitu pasal 39 ayat (2), yang berbunyi: “Pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) ditambahkan 1(satu) kali menjadi 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang atau yang tidak dibayar.” Dilihat dari hukuman yang dijatuhkan, sesuai dengan apa yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pidana bagi pelaku penggelapan pajak lebih berorientasi pada pengembalian kerugian pendapatan negara dan bukan kepada pidana fisik semata.

Bentuk penggelapan pajak dapat berupa penggelapan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, dan atau bukti pemungutan pajak sebagai bentuk konkritnya. 
Berdasarkan penjelasan pasal 39A UU No. 28 Tahun 2007, menyatakan bahwa faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak merupakan sarana administrasi yang sangat penting dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai. Demikian juga bukti pemotongan pajak dan bukti pemungutan pajak merupakan sarana untuk pengkreditan atau pengurangan pajak terutang sehingga setiap penyalahgunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, dan atau bukti setoran pajak dapat mengakibatkan dampak negatif dalam keberhasilan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan. Berdasarkan hal tersebut, penggelapan pajak dapat terjadi melalui penyalahgunaan dalam hal penerbitan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, dan atau bukti pemungutan pajak.


Salah satu yang menjadi rangkaian penggelapan pajak yang dapat pula masuk dalam kualifikasi tindak pidana korupsi adalah dengan dilakukannya suatu tindak pidana penyuapan atau gratifikasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak terhadap Direktorat Jenderal Pajak, atau penyidik pajak, atau pejabat negara lain yang bertugas dalam bidang perpajakan. Dalam kaitannya ini adalah pada saat Wajib Pajak menginginkan agar pajak yang dia bayarkan kurang daripada yang seharusnya, yang dilaksanakan dalam bentuk “kerjasama” dengan pejabat negara untuk membuat palsu penerbitan faktur pajak, atau bukti pemotongan pajak, atau pun bukti pemungutan pajak. Bahwa penyuapan termasuk rangkaian dalam definisi penggelapan pajak yang dikemukakan oleh seorang ahli pajak bernama Brotohardjo, 2007, yang menyatakan bahwa “Penggelapan pajak didefinisikan sebagai suatu tindakan atau sejumlah tindakan yang merupakan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan seperti berikut:



1.      Tidak dapat mengisi Surat Pemberitahuan tepat waktu
2.      Tidak dapat memenuhi pembayaran pajak tepat waktunya.
3.       Tidak dapat memenuhi pelaporan dan pengurangannya secara tepat waktu dan lengkap;
4.      Melakukan penyuapan terhadap aparat perpajakan dan atau tindakan intimidasi lainnya.
Tindak pidana penyuapan yang dilakukan oleh Wajib Pajak terhadap pejabat negara, agar pejabat negara menggunakan jabatannya dalam membantu proses penggelapan pajak yang dilakukan Wajib Pajak, termasuk sebagai kategori penyuapan dalam tindak pidana korupsi. Hal ini diatur dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang berbunyi: 
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a.       Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b.      Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.”

Dari bunyi pasal tersebut, terdapat perbedaan antara poin a dengan poin b. Pada poin a dijelaskan bahwa pemberian sesuatu (uang, barang, atau jasa) diberikan kepada pejabat atau penyelenggara dengan tujuan agar pejabat atau penyelenggara itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, yang bertentangan dengan kewajibannya. Hal ini dikenal dengan sebutan tindak pidana penyuapan.

Sedangkan pada poin b, dijelaskan bahwa pemberian sesuatu (uang, barang, atau jasa) diberikan setelah pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu, yang bertentangan dengan kewajibannya atau dapat dikatakan sebagai suatu pemberian “hadiah” atas perbuatan yang dilakukan atau tidak dilakukan pejabta negara, yang bertentangan dengan kewajibannya. Hal ini dikenal dengan sebutan “gratifikasi”. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara penyuapan dan gratifikasi terletak pada waktu pemberian tersebut dilakukan. Pada penyuapan, pemberian sesuatu dilakukan sebelum pejabat/penyelenggara negara berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Sedangkan, pada gratifikasi, pemberian sesuatu itu dilakukan setelah pejabat/penyelenggara negara berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Kedua, perbedaannya terletak pada unsur niat. Pada penyuapan niat untuk merencanakan penyalahgunaan wewenang telah ada dari awal, sedangkan gratifikasi, niat tersebut belum tentu ada dari awal, atau mungkin saja hal itu tidak direncanakan sebelumnya tetapi terjadi tanpa ada penggerakan dari dia sebelumnya.

Dalam kaitannya dengan korupsi dalam bidang perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, korupsi dapat terjadi apabila Wajib Pajak ternyata terlibat dalam hal melakukan penyuapan maupun gratifikasi terhadap pejabat atau penyelenggara negara untuk membantunya melakukan penggelapan pajak. Oleh karena itu, si Wajib Pajak dapat terjerat oleh pasal 5 ayat (1) UU Tipikor karena unsur subjek dalam pasal 5 ayat(1) tersebut adalah “setiap orang”, yang berarti termasuk pula Wajib Pajak.

Jadi dapat disimpulkan bahwa korupsi pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak berbeda dengan pengertian korupsi pajak. bahwa dalam hal ini posisi korupsi yang dilakukan oleh Wajib Pajak (penyuapan atau gratifikasi) berada hampir sama dengan posisi pada saaat dilakukannya penggelapan pajak, yaitu sebelum sebagian harta kekayaan Wajib Pajak yang untuk membayar pajak masuk ke dalam kas negara.


Contoh Kasus Penggelapan Pajak 
a.     Melaporkan penjualan lebih kecil dari yang seharusnya, omzet 10 milyar hanya dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan sebesar 5 milyar misalnya.
b.     Menggelembungkan biaya perusahaan dengan membebankan biaya fiktif;
c.      Transaksi export fiktif,
d.     Pemalsuan dokumen keuangan perusahaan

Dugaan Penggelapan Pajak oleh Perusahaan Bakrie Group
Ada ungkapan big is beautiful. Tapi sepertinya ungkapan itu tidak seluruhnya benar. Hal ini seperti yang dialami PT Bumi Resources Tbk. Salah satu produsen tambang batu bara terbesar di Indonesia ini sedang pusing lantaran dituding menggelapkan pajak sebesar Rp2,1 triliun. LSM Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai, jumlah itu membengkak menjadi Rp11,426 triliun setelah perusahaan diduga kurang membayar royalti pada periode 2003-2008.
Seperti diketahui, dugaan penggelapan pajak PT Bumi Resources Tbk, termasuk anak usahanya PT Arutmin Indonesia, dan PT Kaltim Prima Coal (KPC) sebesar Rp2,1 triliun pada tahun 2007 itu tengah diproses oleh Polda Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Bedanya, untuk dugaan penggelapan pajak KPC tengah disidik Polda Kaltim. Lalu Polda Kalsel menyelidiki dugaan penggelapan pajak Arutmin. 

Koordinator Monitoring dan Analisa Anggaran ICW, Firdaus Ilyas mengatakan pembengkakan utang perusahaan tambang milik Aburizal Bakrie itu didapat setelah ICW menelaah data-data primer seperti laporan keuangan perusahaan, prospektus, laporan pada pemegang saham, data produksi serta penjualan batu bara perseroan. Data itu juga kami dapat dari hasil audit BPK. Lalu, setelah sejumlah dokumen tersebut diteliti, ditemukan dua kenakalan yang dilakukan perseroan.

Pertama, ditemukan kekurangan setoran Dana Hasil Penjualan Batubara (DHPB) pada 2003-2008, mencapai AS$143,189 juta. “Tetapi, angka itu belum disesuaikan dengan laporan keuangan persero 2008 yaitu AS$608,178 juta. Kedua, emiten berkode saham BUMI itu kurang membayar royalti periode 2003-2008 yang jumlahnya mencapai AS$477,299 juta. Alhasil, total kewajiban Bumi pada negara mencapai AS$1,228 miliar. Apabila menggunakan kurs Rp9.300, maka kewajiban BUMI mencapai Rp11,426 triliun. Atas dasar itu, ICW mendesak Departemen Keuangan memanggil dan memeriksa kantor akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan BUMI. Selain itu, Departemen Keuangan juga harus memanggil Direktur Jenderal Mineral Batu Bara dan Panas Bumi Departemen ESDM. Soalnya, dari Direktur Jenderal ini, bisa diketahui berbagai hal yang mempengaruhi penerimaan BUMI seperti harga batu bara.

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sendiri tidak tinggal diam. Institusi yang bernaung di bawah Departemen Keuangan ini terus melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tunggakan pajak tiga perusahaan Grup Bakrie tersebut. Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo menegaskan, jika ingin penyidikan dihentikan maka Grup Bakrie harus membayar kewajiban lima kali lipat dari total tunggakan. Jadi, harus bayar denda 400 persen. Kalau ditambah pokok tunggakan, jadi 500 persen. Selain harus melunasi kewajibannya, ada prosedur lain yang harus ditempuh Grup Bakrie jika ingin penyidikan kasus ini dihentikan. “Mereka harus mengajukan permohonan ke Menkeu, kemudian dari Menkeu ke Kejagung untuk minta penghentian penyidikan”. Langkah ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 130/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Penghentian Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan Untuk Kepentingan Penerimaan Negara.

PMK yang berlaku sejak 18 Agustus 2009 itu menyatakan, proses penyidikan kasus tindak pidana bidang perpajakan dapat dihentikan melalui izin dari Menkeu, setelah wajib pajak (WP) melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayarkan atau yang seharusnya tidak dikembalikan serta setelah membayar sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali dari pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan.

Kejaksaan Agung (Kejagung) dapat menghentikan penyidikan kasus pidana bidang perpajakan maksimal selama enam bulan sejak tanggal surat permintaan yang dibuat Menkeu. Sebelumnya, Dirjen Pajak diminta Menkeu meneliti dan memberi pendapat sebagai bahan pertimbangan. Surat yang diajukan WP kepada Menkeu harus dilengkapi pernyataan berisi pengakuan bersalah dan kesanggupan pelunasan pembayaran pajak dan sanksi.

Ditjen Pajak yang mengetahui kasus ini mengatakan kemungkinan penambahan nilai kerugian negara terjadi karena dalam proses penyidikan yang dilaksanakan, penyidik menemukan komponen biaya pada  PT Bumi Resources Tbk (BUMI) yang tidak sesuai dengan seharusnya, sehingga menyebabkan besaran pajak yang dibayarkan menjadi kecil. Itu salah satunya dari biaya bunga pinjaman. Kami sedang menelusuri,  nilainya bisa mencapai ratusan miliar rupiah.    Komponen biaya merupakan salah satu komponen yang bisa dikurangkan dari penghasilan bruto dalam rangka penentuan penghasilan kena pajak (PKP). Namun, berdasarkan ketentuan perpajakan, tidak semua komponen biaya bisa dikurangkan dari penghasilan bruto.

Saat meminta penjelasan lebih lanjut mengenai komponen biaya apa saja yang dimaksud, dia enggan menjelaskannya. Pelaksana tugas (Plt) Direktur Intelijen dan Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak Pontas Pane ketika dikonfirmasi enggan berkomentar banyak soal perkembangan penyidikan ketiga kasus tersebut.  Namun, menurut dia, Ditjen Pajak terus melaksanakan proses penyidikan meski terjadi resistensi dari pihak saksi maupun tersangka.
          
Direktorat Jenderal Pajak saat ini mengusut kasus dugaan pidana pajak oleh tiga perusahaan Grup Bakrie, yakni PT Kaltim Prima Coal (KPC), Bumi, dan PT Arutmin Indonesia. Ketiganya diduga menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) tahunan tahun pajak 2007 secara tidak benar. Untuk KPC dan Bumi, Ditjen Pajak telah melakukan penyidikan sementara untuk Arutmin masih dalam proses pemeriksaan bukti permulaan. Terkait pelaksanaan penyidikan tersebut,   mengungkapkan tim penyidik Ditjen Pajak mengalami kesulitan memanggil saksi. Tidak tahu kenapa, tapi memang informasi yang kami dapat menyebutkan di dalam mereka (Grup Bakrie) sudah ada tekanan.” Menurut dia, pemanggilan terhadap tersangka juga mengalami hambatan karena yang bersangkutan tidak pernah memenuhi panggilan pemeriksaan yang dilayangkan penyidik pajak dengan alasan sedang sakit.  “Kami sudah panggil sekali, nanti tak lama lagi akan kami panggil kedua kali. Kalau juga tak dipenuhi akan kami panggil paksa dibantu Kepolisian,” tegasnya.

Dengan adanya masalah ini, kita bisa melihat bahwa sebagai perusahaan yang telah Go Publik masih adanya indikasi bahwa perusahaan-perusahaan tersebut masih belum menerapkan prinsip-prinsip good corporat governance, walaupun masih sebatas dugaan tetapi asumsi-asumsi negative telah mengarah kesana. Untuk bisa memastikannya lebih jauh maka harus dilakukan penyidikan lebih lanjut, tetapi untuk dampak sementara akibat adanya dugaan ini, investor sudah mulai ragu untuk menanamkan modalnya pada perusahaan-perusahaan tersebut.
Didalam konsep good governance setiap informasi yang hendakkan disampaikan harus terbuka dan akurat, jauh dari manipulasi dan hal-hal yang menyesatkan, sebab dengan diterapkannya Prinsip corporate governance diharapkan dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan, yang pada akhirnya meningkatkan kepercayaan pemakai laporan keuangan, termasuk investor.

Penyelesaian :
Dalam kasus dugaan penggelapan pajak oleh perusahaan Bakrie Group, perusahaan mengemukakan bahwa dalam menghadapi masa sulit diperlukan efisiensi. Berkaitan dengan hal tersebut, efisiensi yang paling cepat untuk dapat dilakukan adalah dengan mengurangi pengeluaran, seperti memanipulasi laporan pajak, mengurangi tenaga kerja, dan lain-lain. Alasan efisiensi tersebut tak lain adalah konsekuensi dari globalisasi yang memadatkan jarak dan waktu memang menuntut kompetisi ekonomi global menjadi kian sengit dengan tenggat waktu yang amat cepat. Dengan demikian, sebuah transaksi bisnis tak lagi memakan waktu yang lama seperti dahulu kala. Kini, untuk melakukan transaksi bisnis antar benua bahkan cukup memakan waktu dalam hitungan detik saja. Hal tersebut tentu menuntut perusahaan pada situasi yang amat kompetitif yang menimbulkan konsekuensi ketat bahwa kegagalan berefisiensi akan membuat perusahaan ketinggalan dan kehilangan kesempatan.

Efisiensi menjadi kata kunci bagi perusahaan untuk mengejar keuntungan yang berpacu dalam persaingan global tersebut. Namun menurut Robert Cooter, sesungguhnya efisiensi bukan sekadar dipacu oleh persaingan global terlebih memang sejak awalnya sudah menjadi sifat pengusaha untuk melakukan efisiensi dan maksimalisasi hasil usaha
Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa ekonomi menghasilkan sebuah teori tingkah laku/perilaku untuk memprediksi bagaimana respon manusia terhadap perubahan-perubahan  dalam hukum. Teori ini melampaui intuisi, hanya sebagai ilmu sains yang melampaui akal biasa (common sense). Ilmu Ekonomi memprediksi efek kebijakan terhadap efisiensi. Efisiensi selalu berhubungan dengan pembuatan kebijakan, karena akan selalu lebih baik mencapai semua kebijakan-kebijakan yang ada dengan biaya yang rendah daripada dengan biaya yang tinggi. Pejabat umum tidak pernah menyokong uang yang siasia/pemborosan.

Selain efisiensi, Ilmu ekonomi yang juga memprediksi efek dari kebijakan-kebijakan dalam nilai penting lainnya adalah distribusi. Diantara penerapan ilmu ekonomi itu terhadap kebijakan publik adalah penggunaannya untuk memprediksi siapa sebenarnya yang dibebankan berbagai macam pajak. Lebih daripada penelitian ilmu-ilmu sosial, ahli ekonomi memahami bagaimana hukum memberi dampak terhadap distribusi pendapatan dan kesejahteraan disegala lapisan sosial. Sementara ahli ekonomi seringkali merekomendasikan perubahan untuk peningkatan efisiensi, mereka mencoba menghindari sengketa tentang distribusi, biasanya memberikan rekomendasi tentang distribusi kepada pengambil kebijakan (policy makers) atau pemilih (voters).


Modus Penyelewengan Pajak Versi Gayus
Terdakwa Gayus Halomoan Tambunan mempertanyakan langkah penyidik Polri yang tidak menindaklanjuti keterangannya terkait modus penyelewengan di Direktorat Jenderal Pajak. Gayus mengaku sudah menjelaskan berbagai modus yang biasa terjadi di Ditjen Pajak.
“Padahal, jika hal itu diekspos dengan penyelidikan atau penyidikan, akan terlihat perkara saya tidak ada apanya,” kata Gayus saat membacakan pembelaan atau pleidoi pribadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (3/1/2011).
Dalam pleidoi, Gayus mengungkap enam modus penyelewengan yang berpotensi merugikan negara. Pertama, kata dia, adanya negosiasi di tingkat pemeriksaan pajak oleh tim pemeriksa pajak sehingga surat ketetapan pajak (SKP) tidak mencerminkan nilai yang sebenarnya, baik SKP kurang bayar maupun SKP lebih bayar.
Kedua, negosiasi di tingkat penyidikan pajak. Saat mengungkap penyidikan faktur pajak fiktif, kata Gayus, pengguna faktur pajak fiktif ditakut-takuti, yakni bahwa statusnya akan diubah dari saksi menjadi tersangka. “Yang ujung-ujungnya adalah uang sehingga status pengguna faktur pajak fiktif itu tetap menjadi saksi,” kata dia.
Ketiga, papar Gayus, penyelewenangan fiskal luar negeri dengan berbagai macam modus di bandara-bandara yang melayani penerbangan internasional sebelum berlakunya UU KUP pada 1 Januari 2008. Dalam UU itu, seseorang yang bepergian ke luar negeri diwajibkan membayar fiskal sebesar Rp 2.500.000.
Keempat, lanjut Gayus, penghilangan berkas surat permohonan keberatan wajib pajak yang mengakibatkan permohonan tidak selesai diurus hingga jatuh tempo selama 12 bulan sesuai Pasal 26 Ayat (1) UU No 16/2000. “Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 12 bulan, setelah keberatan pajak diterima, harus memberi keputusan, berapa rupiah pun nilai keberatan yang diminta,” kata dia.
“Kelima, penggunaan perusahaan di luar negeri, khususnya Belanda, di mana terdapat celah hukum pembayaraan bunga kepada perusahaan Belanda, di mana bunga tersebut lebih dari dua tahun, maka dikenai PPh Pasal 26 nol persen. Di sini terdapat potensi penggelapan pajak PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 26 atas biaya bunga. Potensi kerugian dapat mencapai ratusan miliar rupiah, bahkan triliunan rupiah,” ungkap Gayus.
Keenam, lanjut dia, “Kerugian investasi yang dibukukan dalam SPT tahunan. Hal ini dikarenakan adanya kerugian akibat pembelian dan penjualan saham antarperusahaan yang diduga masih satu grup. Diduga tidak ada transaksi tersebut secara riil dan nilai jual beli saham itu tidak mencerminkan nilai saham yang sesungguhnya. Dengan terjadinya kerugian investasi jual beli itu, wajib pajak tidak membayar PPh Pasal 25,” paparnya.
Dampak Yang Terjadi
Dampak positif :
1.      Pemerintah dan masyarakat dapat mengetahui ketidakberesan dalam pemungutan pajak yang selama ini terjadi.
2.      Membersihkan oknum-oknum Ditjen Pajak yang tidak berkompeten dan bertanggungjawab terhadap kewajibannya.
3.      Memberikan kesadaran kepada wajib pajak untuk taat dalam membayar pajak.
Dampak Negatif :
1.      Dengan adanya penyelewengan dan hutang pajak tentunya dapat mengurangi penerimaan negara dari sektor perpajakan, sehingga menghambat pembangunan infrastuktur.
2.      Penyelesaian masalah dari segi hukum terlalu berbelit-belit, sehingga masalah tersebut tidak dapat diatasi secara cepat.
3.      Memperburuk citra dan kinerja pemerintah khususnya pada Ditjen Pajak.
4.      Menghambat penyusunan RAPBN. 
Penyelesaian :
1.      Memeriksa pihak-pihak terkait yaitu pihak Ditjen pajak dan wajib pajak
2.      Memperketat sistem pengendalian dan controlling di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dalam masalah perpajakan.


Daftar Pustaka
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar