Kamis, 30 April 2015

Rangkuman Bab 8/9, Softskill Perekonomian Indonesia



MAIMUNAH

26214334

1EB31

Bab 8/9

Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah

A.  Undang-Undang Otoni Daerah

a.    Tentang UU Otonomi Daerah

UU otonomi daerah itu sendiri merupakan implementasi dari ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyebutkan otonomi daerah sebagai bagian dari sistem tata negara Indonesia dan pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Ketentuan mengenai pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tercantum dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa:
“Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.

Selanjutnya Undang-Undang Dasar 1945 memerintahkan pembentukan UU Otonomi Daerah untuk mengatur mengenai susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945  Pasal 18 ayat (7), bahwa:
“Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang”.

Ketentuan tersebut diatas menjadi payung hukum bagi pembentukan UU otonomi daerah di Indonesia, sementara UU otonomi daerah menjadi dasar bagi pembentukan peraturan lain yang tingkatannya berada di bawah undang-undang menurut hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Otonomi daerah di Indonesia dilaksanakan segera setelah gerakan reformasi 1998. Tepatnya pada tahun 1999 UU otonomi daerah mulai diberlakukan. Pada tahap awal pelaksanaannya, otonomi daerah di Indonesia mulai diberlakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Setelah diberlakukannya UU ini, terjadi perubahan yang besar terhadap struktur dan tata laksana pemerintahan di daerah-daerah di Indonesia.

b.    Perubahan UU Otonomi Daerah

Pada tahap selanjutnya UU otonomi daerah ini mendapatkan kritik dan masukan untuk lebih disempurnakan lagi. Ada banyak kritik dan masukan yang disampaikan sehingga dilakukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang otonomi daerah. Dengan terjadinya judicial review maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diubah dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ini juga diikuti pula dengan perubahan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur mengenai otonomi daerah yang berfungsi sebagai pelengkap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia seperti Undang-Undang Nomor  23 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang selanjutnya digantikan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Sesungguhnya UU otonomi daerah telah mengalami beberapa kali perubahan setelah disahkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun perubahan tersebut meskipun penting namun tidak bersifat substansial dan tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah karena hanya berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Sejak Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disahkan menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomo 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004  tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2977).

Selanjutnya dilakukan lagi perubahan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

B.  Perubahan Penerimaan Daerah & Peranan Pendapatan Asli Daerah

Ø Pendapatan daerah: PAD, bagi hasil pajak dan non pajak, pemberian dari pemerintah
Ø Dalam UU No. 25 ada tambahan pos penerimaan daerah yaitu dana perimbangan dari pemerintah pusat
Ø Beberapa dampak dari diberlakukannya UU No. 25 terhadap keuangan daerah adalah :
§  Peranan PAD  dalam pembiayaan pembangunan ekonomi (APBD) tidak terlalu besar. Hal ini mencerminkan tingginya tingkat ketergantungan finansial daerah terhadap pemerintah pusat.
§  Ada Korelasi positif antara daerah yang kaya SDA dan SDM  dengan peranan PAD dalam APBD
§  Pada tahun 1998/1999 terjadi penurunan PAD dalam pembentukan APBD-nya, salah satu penyebabnya adalah krisis ekonomi yang melanda tanah air. 

C.  Pembangunan Ekonomi Regional 

Teori pertumbuhan regional merupakan bagian penting dalam analisa ekonomi regional dan perkotaan. Alasannya pertumbuhan merupakan salah satu indikator utama dalam pembangunan ekonomi suatu negara atau wilayah dan mempunyai implikasi dalam berbagai kebijakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan itu sendiri adalah proses-proses peningkatan output perkapita dalam jangka panjang. Jadi dalam ekonomi regional proses itu terjadi dalam suatu wilayah atau kawasan itu.

Penekanan pertumbuhan ekonomi regional lebih dipusatkan pada pengaruh perbedaan karakteristik space terhadap pertumbuhan ekonomi. Faktor yang menjadi perhatian utama dalam teori pertumbuhan ekonomi regional dan perkotaan :

–    Keuntungan lokasi.
–    Aglomerasi migrasi.
–    Arus lalu lintas modal antar wilayah.

 Sasaran utama dalam teori pertumbuhan regional adalah menjelaskan :

–    Mengapa suatu wilayah atau daerah ada pertumbuhannya yang cepat da nada yang lambat.
–    Mengapa terjadi perbedaan dan ketimpangan serta ketidakmerataan pembangunan antar wilayah atau kawasan.

 Berbeda dengan teori ekonomi secara konvensional. Teori ekonomi regional dan perkotaan memasukkan unsur lokasi (ruang) dan wilayah (kawasan) kedalam analisa, sehingga kesimpulan yang diperoleh berbeda dan lebih tajam. 

a.    Tujuan& Manfaat Teori Pertumbuhan Regional

 Sebagaimana diketahui pengertian wilayah secara akademik diartikan sebagai :

–          Wilayah homogen
–          Wilayah modal
–          Wilayah perencanaan
–          Wilayah administrative

Wilayah provinsi, kabupaten, dan kota merupakan wilayah administratif, bearti pertumbuhan disini adalah wilayah itu ada batas penduduk, pemerintahan, dan regulasinya sedangkan wilayah homogeny dan perencanaan ada kriteria lain.

 Tujuan untuk manfaat yang berkaitan dengan kepentingan :

–          Untuk apa
–          Bagaimana melaksanakan
–          Siapa yang melaksanakan
–          Untuk siapa pembangunan tersebut

Tujuan sama halnya dengan ekonomi makronya yaitu terjadinya proses peningkatan dan menyeluruh disemua wilayah. Boediono (1985), menjelaskan bahwa pertumbuhan harus bersumber dari wilayah itu sendiri. Faktor eksternal adalah sebagai supporting saja.Melalui pertumbuhan diharapkan pendapatan perkapita atau kesejahteraan penduduk akan meningkat dari periode ke periode.

Kemampuan wilayah atau daerah pasar proses pembangunan adalah terbatas, maka diperlukan perencanaan pembangunan dan kebijakan secara sistematis. Kemampuan wilayah ditentukan oleh kapasitas atau potensi daerah.

b.    Beberapa  Pandangan Dalam Ekonomu Regional

1.      Teori ekonomi klasik

– Pertama kali membahas pertumbuhan ekonomi secara sistematis adalah Adam Smit (1776). Intinya masyarakat dalam proses pembangunan harus diberi kebebasan seluas-luasnya dalam menentukan kegiatannya. Dalam kegiatan ini sitem yang paling cocok adalah system pasar bebas dalam membawa perekonomiannya kea rah full employment. Kemudian teori klasik ini dikoreksi oleh John Maynard Keyness (1936).

2.      Teori neo-klasik

Teori ini dikembangkan oleh Harrod-Domar (1957) yaitu melengkapi teori dari Maynard Keyness (1936) yang bersifat statis. Asumsi Harrod-Domar adalah :

1.    Perekonomian bersifat tertutup.
2.    MPS adalah konstan.
3.    Proses produksi memiliki koefisien konstan (constant return to scale).
4.    Pertumbuhan angkatan kerja dan penduduk adalah given dan konstan.

 Teori ini dikembangkan oleh Solow (1970) dan Swan (1950). Model Solow dan Swan menggunakan unsur pertumbuhan penduduk, akumulasi modal, dan kemajuan teknologi serta perkembangan output yang saling berinteraksi.

3.      Teori basis (Export Base Theory)

Dikembangkan oleh Tybolt yang mengklasifikasikan sektor-sektor ekonomi atau pekerjaan menurut dasar-dasar dan bukan pasar (basic dan non basic) kegiatan dasar umumnya bersifat exogenous artinya tidak terkait dengan masalah internal.Sektor didalam wilayah itu ditentukan oleh sektor yang paling dominan dan tergantung kepada alam atau tempat.

c.    Model Pertumbuhan Regional 

 Ekspor base modal

Modal pertumbuhan regional diawali dengan export base theory dari teori Tybolt (Richardian 1978). Teori ini diperkenalkan oleh C. North pada tahun 1956 dimana pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau daerah ditentukan oleh keuntungan komparatif (comparative advantage).

D.  Faktor – faktor Penyebab Ketimpangan Pembangunan Ekonomi.

Menurut Syafrijal 2012, Ada Beberapa Faktor utama yang mempengaruhi ketimpangan ,yaitu :

1.    Perbedaan Kandungan Sumber Daya Alam.

Perbedaan kandungan sumber daya alam akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumber daya alam cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih rendah. Kondisi ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih kecil hanya akan dapat memproduksi barang-barang dengan biaya produksi lebih tinggi sehingga daya saingnya menjadi lemah. Kondisi tersebut menyebabkan daerah bersangkutan cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat.

2.    Perbedaan kondisi Demografis.

Perbedaan kondisi demografis meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan. Kondisi demografis akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat setempat. Daerah dengan kondisi demografis yang baik akan cenderung mempunyai produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.

3.    Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa.

Mobilitas barang dan jasa meliputi kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan. Alasannya adalah apabila mobilitas kurang lancar maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat di jual ke daerah lain yang membutuhkan. Akibatnya adalah ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi, sehingga daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya.

4.    Konsenterasi Kegiatan Ekonomi Wilayah.

Pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih cepat pada suatu daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonominya cukup besar. Kondisi inilah yang selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat.

5.    Alokasi Dana Pembangunan Antar Wilayah.

Alokasi dana ini bisa berasal dari pemerintah maupun swasta. Pada sistem pemerintahan otonomi maka dana pemerintah akan lebih banyak dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung lebih rendah. Untuk investasi swasta lebih banyak ditentukan oleh kekuatan pasar. Dimana keuntungan lokasi yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan kekuatan yang berperan banyak dalam menark investasi swasta. Keuntungan lokasi ditentukan oleh biaya transpor baik bahan baku dan hasil produksi yang harus dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh, konsentrasi pasar, tingkat persaingan usaha dan sewa tanah. Oleh karena itu investai akan cenderung lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan.

E.  Pembangunan Indonesia Bagian Timur.

Dalam membangun Kawasan Indonesia Bagian Timur, terdapat beberapa faktor pokok yang perlu diberikan perhatian lebih mendalam dalam memformulasikan strategi pengembangannya, yaitu: 

a) adanya keanekaragaman situasi dan kondisi daerah-daerah di KTI yang memerlukan kebijaksanaan serta solusi pembangunan yang disesuaikan dengan kepentingan setempat (local needs)
(b) perlunya pendekatan pembangunan yang dilaksanakan secara terpadu dan menggunakan pendekatan perwilayahan
(c) perencanaan pembangunan di daerah harus memperhatikan serta melibatkan peran serta masyarakat.
 (d) peningkatan serta pengembangan sektor pertanian yang tangguh untuk dapat menanggulangi masalah kemiskinan baik di perdesaan maupun di perkotaan melalui peningkatan pendapatan masyarakat khususnya dalam bidang agribisnis dan agroindustri, serta penyediaan berbagai sarana dan prasarana lapangan kerja.

 3 strategi pokok dalam upaya percepatan pembangunan KTI berdasarkan rancangan RPJM Nasional 2010-2014

1.       Pendekatan perwilayahan untuk percepatan pembangunan. Dalam hal ini, upaya membangun koordinasi dan komunikasi antar-propinsi di KTI akan menjadi sangat penting peranannya.
2.       Peningkatan daya saing dengan tujuan akhir untuk mensejahterakan masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian dan keseimbangan ekosistem lingkungan hidup.
3.        perubahan manajemen publik, yang juga memiliki korelasi yang sangat kuat untuk membangkitkan daya saing wilayah, dengan memperhatikan birokrasi pemerintah yang responsif terhadap tantangan, potensi dan masalah daerah.

Kendala dan tantangan pembangunan Indonesia Bagian Timur.

1.    Kurangnya ketersediaan prasarana dan sarana dasar ekonomi.
2.    Terbatasnya kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia.
3.    Kendala geografis yang relatif terisolasi merupakan masalah utama bagi pengembangan KTI.
4.     jaringan transportasi, telekomunikasi, dan energi listrik, ketersediaan dan kualitas pelayanannya di wilayah Indonesia bagian Timur juga  masih harus ditingkatkan.

F.   Teori dan Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah

Perbedaan karakteristik wilayah berarti perbedaan potensi yang dimiliki, sehingga membutuhkan perbedaan kebijakan untuk setiap wilayah. Untuk menunjukkan adanya perbedaan potensi ini maka dibentuklah zona-zona pengembangan ekonomi wilayah.

Zona Pengembangan Ekonomi Daerah adalah pendekatan pengembangan ekonomi daerah dengan membagi habis wilayah sebuah daerah berdasarkan potensi unggulan yang dimiliki, dalam satu daerah dapat terdiri dari dua atau lebih zona dan sebuah zona dapat terdiri dari dua atau lebih cluster. Setiap zona diberi nama sesuai dengan potensi unggulan yang dimiliki, demikian pula pemberian nama untuk setiap cluster.

Zona pengembangan ekonomi daerah (ZPED) adalah salah satu solusi yang dapat diterapkan untuk membangun ekonomi suatu daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di masa depan. Pola pembangunan ekonomi dengan pendekatan Zona Pengembangan Ekonomi Daerah (ZPED), bertujuan:

1.    Membangun setiap wilayah sesuai potensi yang menjadi keunggulan kompetitifnya/kompetensi intinya.
2.    Menciptakan proses pembangunan ekonomi lebih terstruktur, terarah dan berkesinambungan
3.    Memberikan peluang pengembangan wilayah kecamatan dan desa sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi daerah.

Hal ini sejalan dengan strategi pembangunan yang umumnya dikembangkan oleh para ahli ekonomi regional dewasa ini. Para ahli sangat concern dengan ide pengembangan ekonomi yang bersifat lokal, sehingga lahirlah berbagai Strategi Pembangunan Ekonomi Lokal (Local Economic Development/LED).
Strategi ini terangkum dalam berbagai teori dan analisis yang terkait dengan pembangunan ekonomi lokal. Salah satu analisis yang relevan dengan strategi ini adalah Model Pembangunan Tak Seimbang, yang dikemukakan oleh Hirscman :
“Jika kita mengamati proses pembangunan yang terjadi antara dua priode waktu tertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi mengalami perkembangan dengan laju yang berbeda, yang berarti pula bahwa pembangunan berjalan dengan baik walaupun sektor berkembang dengan tidak seimbang. Perkembangan sektor pemimpin (leading sector) akan merangsang perkembangan sektor lainnya. Begitu pula perkembangan di suatu industri tertentu akan merangsang perkembangan industri-industri lain yang terkait dengan industri yang mengalami perkembangan tersebut”.

Model pembangunan tak seimbang menolak pemberlakuan sama pada setiap sektor yang mendukung perkembangan ekonomi suatu wilayah. Model pembangunan ini mengharuskan adanya konsentrasi pembangunan pada sektor yang menjadi unggulan (leading sector) sehingga pada akhirnya akan merangsang perkembangan sektor lainnya.

Terdapat pula analisis kompetensi inti (core competiton). Kompetensi inti dapat berupa produk barang atau jasa yang andalan bagi suatu zona/kluster untuk membangun perekonomiannya. Pengertian kompetensi inti menurut Hamel dan Prahalad (1995) adalah :

“Suatu kumpulan kemampuan yang terintegrasi dari serangkaian sumberdaya dan perangkat pendukungnya sebagai hasil dari proses akumulasi pembelajaran, yang akan bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu bisnis”.

Daftar Pustaka :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar