MAIMUNAH
26214334
1EB31
Bab 8/9
Pembangunan
Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah
A. Undang-Undang Otoni Daerah
a.
Tentang UU Otonomi Daerah
UU
otonomi daerah
itu sendiri merupakan implementasi dari ketentuan yang tercantum dalam
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyebutkan otonomi daerah sebagai
bagian dari sistem tata negara Indonesia dan pelaksanaan pemerintahan di
Indonesia. Ketentuan mengenai pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tercantum
dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa:
“Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan”.
Selanjutnya Undang-Undang Dasar 1945 memerintahkan
pembentukan UU Otonomi Daerah untuk mengatur mengenai susunan dan
tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagaimana disebutkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (7), bahwa:
“Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah
diatur dalam undang-undang”.
Ketentuan tersebut diatas menjadi payung hukum bagi
pembentukan UU otonomi daerah di Indonesia, sementara UU otonomi daerah
menjadi dasar bagi pembentukan peraturan lain yang tingkatannya berada di bawah
undang-undang menurut hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di
Indonesia.
Otonomi daerah di Indonesia dilaksanakan segera setelah
gerakan reformasi 1998. Tepatnya pada tahun 1999 UU otonomi daerah mulai
diberlakukan. Pada tahap awal pelaksanaannya, otonomi daerah di Indonesia mulai
diberlakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Setelah diberlakukannya UU ini, terjadi perubahan yang besar terhadap
struktur dan tata laksana pemerintahan di daerah-daerah di Indonesia.
b.
Perubahan UU Otonomi Daerah
Pada tahap selanjutnya UU otonomi daerah ini mendapatkan
kritik dan masukan untuk lebih disempurnakan lagi. Ada banyak kritik dan
masukan yang disampaikan sehingga dilakukan judicial review terhadap peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang otonomi daerah. Dengan terjadinya
judicial review maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah diubah dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah ini juga diikuti pula dengan perubahan peraturan perundang-undangan
lainnya yang mengatur mengenai otonomi daerah yang berfungsi sebagai pelengkap
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia seperti Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang selanjutnya
digantikan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah.
Sesungguhnya UU otonomi daerah telah mengalami beberapa kali
perubahan setelah disahkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Namun perubahan tersebut meskipun penting namun tidak bersifat
substansial dan tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap tata cara
penyelenggaraan pemerintahan daerah karena hanya berkaitan dengan
penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Sejak Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah disahkan menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomo 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2977).
Selanjutnya dilakukan lagi perubahan melalui Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
B.
Perubahan Penerimaan Daerah & Peranan Pendapatan Asli Daerah
Ø
Pendapatan daerah: PAD, bagi hasil
pajak dan non pajak, pemberian dari pemerintah
Ø
Dalam UU No. 25 ada tambahan pos
penerimaan daerah yaitu dana perimbangan dari pemerintah pusat
Ø
Beberapa dampak dari
diberlakukannya UU No. 25 terhadap keuangan daerah adalah :
§ Peranan PAD dalam pembiayaan
pembangunan ekonomi (APBD) tidak terlalu besar. Hal ini mencerminkan tingginya
tingkat ketergantungan finansial daerah terhadap pemerintah pusat.
§ Ada Korelasi positif antara daerah yang kaya SDA dan SDM dengan peranan PAD dalam APBD
§ Pada tahun 1998/1999 terjadi penurunan PAD dalam pembentukan APBD-nya,
salah satu penyebabnya adalah krisis ekonomi yang melanda tanah air.
C. Pembangunan Ekonomi Regional
Teori pertumbuhan
regional merupakan bagian penting dalam analisa ekonomi regional dan perkotaan.
Alasannya pertumbuhan merupakan salah satu indikator utama dalam pembangunan
ekonomi suatu negara atau wilayah dan mempunyai implikasi dalam berbagai
kebijakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan itu sendiri adalah proses-proses
peningkatan output perkapita dalam jangka panjang. Jadi dalam ekonomi regional
proses itu terjadi dalam suatu wilayah atau kawasan itu.
Penekanan pertumbuhan ekonomi regional lebih dipusatkan pada
pengaruh perbedaan karakteristik space terhadap pertumbuhan ekonomi. Faktor
yang menjadi perhatian utama dalam teori pertumbuhan ekonomi regional dan
perkotaan :
– Keuntungan lokasi.
– Aglomerasi migrasi.
– Arus lalu lintas modal antar
wilayah.
Sasaran utama dalam teori pertumbuhan regional adalah
menjelaskan :
– Mengapa suatu wilayah atau daerah
ada pertumbuhannya yang cepat da nada yang lambat.
– Mengapa terjadi perbedaan dan
ketimpangan serta ketidakmerataan pembangunan antar wilayah atau kawasan.
Berbeda dengan teori ekonomi secara konvensional.
Teori ekonomi regional dan perkotaan memasukkan unsur lokasi (ruang) dan
wilayah (kawasan) kedalam analisa, sehingga kesimpulan yang diperoleh berbeda
dan lebih tajam.
a. Tujuan&
Manfaat Teori Pertumbuhan Regional
Sebagaimana diketahui pengertian wilayah secara
akademik diartikan sebagai :
–
Wilayah homogen
–
Wilayah modal
–
Wilayah perencanaan
–
Wilayah administrative
Wilayah provinsi, kabupaten, dan kota merupakan wilayah
administratif, bearti pertumbuhan disini adalah wilayah itu ada batas penduduk,
pemerintahan, dan regulasinya sedangkan wilayah homogeny dan perencanaan ada
kriteria lain.
Tujuan untuk manfaat yang berkaitan dengan kepentingan
:
–
Untuk apa
–
Bagaimana melaksanakan
–
Siapa yang melaksanakan
–
Untuk siapa pembangunan tersebut
Tujuan sama halnya dengan ekonomi makronya yaitu terjadinya
proses peningkatan dan menyeluruh disemua wilayah. Boediono (1985), menjelaskan
bahwa pertumbuhan harus bersumber dari wilayah itu sendiri. Faktor eksternal
adalah sebagai supporting saja.Melalui pertumbuhan diharapkan pendapatan
perkapita atau kesejahteraan penduduk akan meningkat dari periode ke periode.
Kemampuan wilayah atau daerah pasar proses pembangunan
adalah terbatas, maka diperlukan perencanaan pembangunan dan kebijakan secara
sistematis. Kemampuan wilayah ditentukan oleh kapasitas atau potensi daerah.
b. Beberapa Pandangan Dalam Ekonomu
Regional
1. Teori ekonomi klasik
– Pertama kali membahas pertumbuhan ekonomi secara
sistematis adalah Adam Smit (1776). Intinya masyarakat dalam proses pembangunan
harus diberi kebebasan seluas-luasnya dalam menentukan kegiatannya. Dalam
kegiatan ini sitem yang paling cocok adalah system pasar bebas dalam membawa
perekonomiannya kea rah full employment. Kemudian teori klasik ini dikoreksi
oleh John Maynard Keyness (1936).
2.
Teori neo-klasik
Teori ini dikembangkan oleh
Harrod-Domar (1957) yaitu melengkapi teori dari Maynard Keyness (1936) yang
bersifat statis. Asumsi Harrod-Domar adalah :
1. Perekonomian bersifat tertutup.
2. MPS adalah konstan.
3. Proses produksi memiliki koefisien
konstan (constant return to scale).
4. Pertumbuhan angkatan kerja dan
penduduk adalah given dan konstan.
Teori ini dikembangkan oleh Solow (1970) dan Swan
(1950). Model Solow dan Swan menggunakan unsur pertumbuhan penduduk, akumulasi
modal, dan kemajuan teknologi serta perkembangan output yang saling
berinteraksi.
3.
Teori basis (Export Base Theory)
Dikembangkan oleh Tybolt yang
mengklasifikasikan sektor-sektor ekonomi atau pekerjaan menurut dasar-dasar dan
bukan pasar (basic dan non basic) kegiatan dasar umumnya bersifat exogenous
artinya tidak terkait dengan masalah internal.Sektor didalam wilayah itu
ditentukan oleh sektor yang paling dominan dan tergantung kepada alam atau
tempat.
c. Model Pertumbuhan Regional
Ekspor base modal
Modal pertumbuhan regional diawali dengan export base theory
dari teori Tybolt (Richardian 1978). Teori ini diperkenalkan oleh C. North pada
tahun 1956 dimana pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau daerah ditentukan oleh
keuntungan komparatif (comparative advantage).
D.
Faktor
– faktor Penyebab Ketimpangan Pembangunan Ekonomi.
Menurut
Syafrijal 2012, Ada Beberapa Faktor utama yang mempengaruhi ketimpangan ,yaitu
:
1.
Perbedaan
Kandungan Sumber Daya Alam.
Perbedaan
kandungan sumber daya alam akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah
bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumber daya alam cukup tinggi akan dapat
memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah dibandingkan
dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih rendah.
Kondisi ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih
cepat. Sedangkan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih
kecil hanya akan dapat memproduksi barang-barang dengan biaya produksi lebih
tinggi sehingga daya saingnya menjadi lemah. Kondisi tersebut menyebabkan
daerah bersangkutan cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat.
2.
Perbedaan
kondisi Demografis.
Perbedaan
kondisi demografis meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur
kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi
ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja
yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan. Kondisi demografis akan
berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat setempat. Daerah dengan
kondisi demografis yang baik akan cenderung mempunyai produktivitas kerja yang
lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang
selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi
daerah tersebut.
3.
Kurang
Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa.
Mobilitas
barang dan jasa meliputi kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi baik
yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan. Alasannya
adalah apabila mobilitas kurang lancar maka kelebihan produksi suatu daerah
tidak dapat di jual ke daerah lain yang membutuhkan. Akibatnya adalah
ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi, sehingga daerah
terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya.
4.
Konsenterasi
Kegiatan Ekonomi Wilayah.
Pertumbuhan
ekonomi akan cenderung lebih cepat pada suatu daerah dimana konsentrasi kegiatan
ekonominya cukup besar. Kondisi inilah yang selanjutnya akan mendorong proses
pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat
pendapatan masyarakat.
5.
Alokasi
Dana Pembangunan Antar Wilayah.
Alokasi dana ini bisa berasal dari
pemerintah maupun swasta. Pada sistem pemerintahan otonomi maka dana pemerintah
akan lebih banyak dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan pembangunan antar
wilayah akan cenderung lebih rendah. Untuk investasi swasta lebih banyak
ditentukan oleh kekuatan pasar. Dimana keuntungan lokasi yang dimiliki oleh
suatu daerah merupakan kekuatan yang berperan banyak dalam menark investasi
swasta. Keuntungan lokasi ditentukan oleh biaya transpor baik bahan baku dan
hasil produksi yang harus dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh,
konsentrasi pasar, tingkat persaingan usaha dan sewa tanah. Oleh karena itu
investai akan cenderung lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan dengan
daerah pedesaan.
E.
Pembangunan
Indonesia Bagian Timur.
Dalam membangun Kawasan Indonesia Bagian Timur, terdapat beberapa faktor pokok yang perlu diberikan perhatian lebih mendalam
dalam memformulasikan strategi pengembangannya, yaitu:
a) adanya keanekaragaman situasi dan kondisi
daerah-daerah di KTI yang memerlukan kebijaksanaan serta solusi pembangunan
yang disesuaikan dengan kepentingan setempat (local needs)
(b) perlunya pendekatan pembangunan yang
dilaksanakan secara terpadu dan menggunakan pendekatan perwilayahan
(c) perencanaan pembangunan di daerah harus
memperhatikan serta melibatkan peran serta masyarakat.
(d)
peningkatan serta pengembangan sektor pertanian yang tangguh untuk dapat
menanggulangi masalah kemiskinan baik di perdesaan maupun di perkotaan melalui
peningkatan pendapatan masyarakat khususnya dalam bidang agribisnis dan
agroindustri, serta penyediaan berbagai sarana dan prasarana lapangan kerja.
3 strategi pokok dalam upaya percepatan
pembangunan KTI berdasarkan rancangan RPJM Nasional 2010-2014
1.
Pendekatan perwilayahan
untuk percepatan pembangunan. Dalam hal ini, upaya membangun koordinasi dan
komunikasi antar-propinsi di KTI akan menjadi sangat penting peranannya.
2.
Peningkatan daya saing
dengan tujuan akhir untuk mensejahterakan masyarakat dengan tetap menjaga
kelestarian dan keseimbangan ekosistem lingkungan hidup.
3.
perubahan manajemen publik, yang juga memiliki
korelasi yang sangat kuat untuk membangkitkan daya saing wilayah, dengan
memperhatikan birokrasi pemerintah yang responsif terhadap tantangan, potensi
dan masalah daerah.
Kendala
dan tantangan pembangunan Indonesia Bagian Timur.
1. Kurangnya ketersediaan prasarana dan sarana dasar
ekonomi.
2. Terbatasnya kualitas dan kuantitas sumberdaya
manusia.
3. Kendala geografis yang relatif terisolasi merupakan
masalah utama bagi pengembangan KTI.
4. jaringan
transportasi, telekomunikasi, dan energi listrik, ketersediaan dan kualitas
pelayanannya di wilayah Indonesia bagian Timur juga masih harus ditingkatkan.
F. Teori dan Analisis Pembangunan
Ekonomi Daerah
Perbedaan karakteristik wilayah berarti perbedaan
potensi yang dimiliki, sehingga membutuhkan perbedaan kebijakan untuk setiap
wilayah. Untuk menunjukkan adanya perbedaan potensi ini maka dibentuklah
zona-zona pengembangan ekonomi wilayah.
Zona Pengembangan Ekonomi Daerah adalah pendekatan
pengembangan ekonomi daerah dengan membagi habis wilayah sebuah daerah
berdasarkan potensi unggulan yang dimiliki, dalam satu daerah dapat terdiri
dari dua atau lebih zona dan sebuah zona dapat terdiri dari dua atau lebih
cluster. Setiap zona diberi nama sesuai dengan potensi unggulan yang dimiliki,
demikian pula pemberian nama untuk setiap cluster.
Zona pengembangan ekonomi daerah
(ZPED) adalah salah satu solusi yang dapat diterapkan untuk membangun ekonomi
suatu daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di masa depan. Pola
pembangunan ekonomi dengan pendekatan Zona Pengembangan Ekonomi Daerah (ZPED),
bertujuan:
1. Membangun setiap wilayah
sesuai potensi yang menjadi keunggulan kompetitifnya/kompetensi intinya.
2. Menciptakan proses
pembangunan ekonomi lebih terstruktur, terarah dan berkesinambungan
3. Memberikan peluang
pengembangan wilayah kecamatan dan desa sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
daerah.
Hal ini sejalan dengan strategi pembangunan yang umumnya
dikembangkan oleh para ahli ekonomi regional dewasa ini. Para ahli sangat
concern dengan ide pengembangan ekonomi yang bersifat lokal, sehingga lahirlah
berbagai Strategi Pembangunan Ekonomi Lokal (Local Economic Development/LED).
Strategi ini terangkum dalam berbagai teori dan
analisis yang terkait dengan pembangunan ekonomi lokal. Salah satu analisis
yang relevan dengan strategi ini adalah Model Pembangunan Tak Seimbang, yang
dikemukakan oleh Hirscman :
“Jika kita mengamati proses pembangunan yang terjadi
antara dua priode waktu tertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan
ekonomi mengalami perkembangan dengan laju yang berbeda, yang berarti pula
bahwa pembangunan berjalan dengan baik walaupun sektor berkembang dengan tidak
seimbang. Perkembangan sektor pemimpin (leading sector) akan merangsang
perkembangan sektor lainnya. Begitu pula perkembangan di suatu industri
tertentu akan merangsang perkembangan industri-industri lain yang terkait
dengan industri yang mengalami perkembangan tersebut”.
Model pembangunan tak seimbang menolak pemberlakuan
sama pada setiap sektor yang mendukung perkembangan ekonomi suatu wilayah.
Model pembangunan ini mengharuskan adanya konsentrasi pembangunan pada sektor
yang menjadi unggulan (leading sector) sehingga pada akhirnya akan merangsang
perkembangan sektor lainnya.
Terdapat pula analisis kompetensi inti (core
competiton). Kompetensi inti dapat berupa produk barang atau jasa yang andalan
bagi suatu zona/kluster untuk membangun perekonomiannya. Pengertian kompetensi
inti menurut Hamel dan Prahalad (1995) adalah :
“Suatu kumpulan kemampuan yang terintegrasi dari
serangkaian sumberdaya dan perangkat pendukungnya sebagai hasil dari proses
akumulasi pembelajaran, yang akan bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu
bisnis”.
Daftar Pustaka :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar